
Akademisi meminta undang-undang yang mengatur platform digital dibedakan dengan undang-undang yang mengatur tentang penyiaran.
“Menurut saya pengaturan soal platform digital membutuhkan undang-undang tersendiri yang berbeda dengan undang-undang penyiaran,” kata Ignatius Haryanto Djoewanto dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara.
Hal itu disampaikannya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) Komisi I DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/7/2025).
Dilansir dari Antara, ia menjelaskan bahwa ranah dunia penyiaran dan ranah dunia platform digital adalah dua hal yang berbeda. Baik keberadaannya secara teknologi ataupun juga nanti dalam hal pengaturannya.
Ia lantas menjelaskan bahwa pada umumnya pengaturan terkait dengan platform digital dilakukan atas dua hal, yakni terkait dengan perusahaan platform digital yang menyediakan jasa streaming online ataupun jasa platform media sosial, serta terkait dengan konten dalam platform digital yang harus mencerminkan konten bertanggung jawab.
Haryanto menuturkan, pengaturan platform digital yang terkait dengan jasa streaming online dan platform media sosial mensyaratkan adanya pembagian dari pendapatan mereka untuk kepentingan nasional, misalnya untuk produksi audio visual yang mencerminkan budaya setempat.
“Agar konten-konten dalam platform mereka tidak didominasi oleh konten-konten dari luar semata, tapi juga memberikan ruang untuk identitas budaya di mana mereka hadir di sana,” tuturnya.
Untuk itu, ia menggarisbawahi pengaturan tersebut hendak mengatur keseimbangan antara regulasi dan juga inovasi.
“Pengaturan terkait dengan masalah konten juga dikembalikan pada perusahaan platform agar mengatur mereka-mereka yang menggunakan platform agar patuh pada etika, regulasi, dan kepantasan yang ada,” ujar Haryanto.
Haryanto mengingatkan pula bahwa pembahasan RUU Penyiaran tidak boleh melupakan entitas lembaga penyiaran publik maupun komunitas.
“Saya kira kita tidak hanya membicarakan terkait lembaga penyiaran swasta atau berlangganan tetapi saya kira juga semua perlu diberikan kesempatan untuk didengarkan juga oleh para anggota dewan,” ucapnya.
Ia lantas meluruskan bahwa media digital tak sepenuhnya berada pada wilayah yang tanpa hukum sebab perusahaan platform digital memiliki community guidelines yang menyepakati aturan-aturan tertentu, dan perusahaan platform memiliki mekanisme untuk mencopot atau menurunkan konten yang dianggap tidak sesuai dengan community guidelines tersebut.
“Ini sering dikeluhkan oleh para pelaku industri penyiaran bahwa media penyiaran berjalan dengan penuh aturan, mulai dari undang-undang penyiaran, kode etik jurnalistik, pedoman perilaku penyiaran, dan standar program siaran. Sementara media digital seolah ranah yang tanpa hukum. Sebenarnya bagian ini tidak sepenuhnya benar,” katanya.
Selain itu, ia menyebut konten dalam platform digital juga sudah diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan sejumlah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo).
Haryanto mengemukakan pula bahwa perlu ada upaya pemerintah dan DPR dalam merespons tumbuhnya industri penyiaran dan industri pers yang sehat dalam merespons gempuran disrupsi digital saat ini.
“Kita mendengar banyak keluhan dari mereka yang bekerja dalam industri penyiaran ketika iklan makin merosot, sementara iklan digital berkembang dengan pesat. Ada pola konsumsi masyarakat yang berubah, dari penggunaan media analog menjadi media digital,” paparnya. (ant/dis/saf/ipg)