
Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menjadi momen penting untuk menyatukan kembali sistem pendidikan Indonesia yang selama ini dinilai terfragmentasi.
Hal ini disampaikan Atip Latipulhayat Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Forum Legislasi membahas revisi UU Sisdiknas bersama Komisi X DPR RI, Selasa (3/6/2025).
Menurut Atip, regulasi pendidikan yang berlaku saat ini sudah berusia lebih dari dua dekade dan tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman. Ia menyebut sejumlah fakta menunjukkan bahwa sistem yang ada sudah tidak utuh lagi sebagai satu sistem nasional.
“Selama ini kesannya UU Sisdiknas hanya mengatur pendidikan dasar dan menengah. Padahal konstitusi mengamanatkan adanya satu sistem pendidikan nasional. Ini yang ingin kita luruskan melalui revisi,” kata Atip.
Ia menjelaskan, banyak kebijakan pendidikan saat ini berdiri di atas undang-undang sektoral, seperti UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, bahkan UU Pesantren. Akibatnya, kebijakan pendidikan tampak berjalan sendiri-sendiri tanpa benang merah yang kuat.
“Kalau kita ingin mewujudkan pendidikan yang adil dan bermutu untuk semua, payung hukumnya juga harus menyatu. Tidak bisa dibiarkan terpecah-pecah seperti sekarang,” tegasnya.
Pemerintah bersama DPR saat ini tengah menyusun sistematika baru yang akan mengintegrasikan berbagai undang-undang terkait pendidikan ke dalam satu kerangka hukum. Penyusunan ini dilakukan bersama Badan Keahlian DPR dan telah disampaikan kepada kementerian terkait untuk ditindaklanjuti.
Tak hanya dari sisi metode, Atip juga menekankan pentingnya perubahan dari sisi substansi. Beberapa pasal dinilai sudah tidak sesuai dengan praktik di lapangan atau bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia mencontohkan rencana penguatan pendidikan teknologi di jenjang dasar dan menengah, seperti pengenalan coding dan kecerdasan buatan (AI), sebagai perubahan substansial yang perlu mendapat landasan hukum jelas.
“Kami tidak bisa melangkah cepat kalau regulasinya masih kaku. Teknologi berkembang cepat, undang-undang harus bisa akomodatif terhadap hal-hal seperti ini,” ujarnya.
Atip juga menyoroti persoalan kurikulum yang sering kali menjadi perdebatan publik. Menurutnya, perubahan kurikulum adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari, dan semestinya tidak dianggap sebagai bentuk ketidakpastian.
“Kurikulum itu alat, bukan tujuan. Maka pengaturannya dalam undang-undang harus lentur, jangan sampai justru menghambat inovasi di sekolah,” tambahnya.
Soal guru, Atip juga menggarisbawahi pentingnya evaluasi terhadap sistem pendidikan profesi guru (PPG). Ia mempertanyakan logika kebijakan yang mewajibkan lulusan LPTK mengikuti PPG, sementara lulusan non-kependidikan bisa langsung jadi guru dengan pelatihan singkat.
“Logikanya seperti sarjana non-kedokteran bisa langsung ikut koas. Ini perlu kita pikirkan ulang secara serius,” katanya.
Di sisi lain, Atip menilai keputusan MK soal wajib belajar tanpa pungutan menjadi sinyal kuat perlunya perbaikan arah kebijakan anggaran pendidikan nasional. Ia menyoroti fakta bahwa dari total 20 persen anggaran pendidikan yang dijamin konstitusi, hanya sebagian kecil yang benar-benar dialokasikan untuk pendidikan dasar dan menengah.
“Anggaran untuk wajib belajar SD-SMP itu hanya 4,9 persen dari 20 persen total anggaran pendidikan. Ini berarti kita perlu benahi politik anggaran kita, sesuai dengan amanat pasal 31 konstitusi,” jelas Atip.
Revisi UU Sisdiknas, tambahnya, akan dilakukan dengan pendekatan fleksibel, ada pasal yang diubah sebagian, dihapus, atau bahkan dirombak total, tergantung kebutuhan. Tujuannya satu, memastikan seluruh warga negara bisa mengakses pendidikan yang berkualitas secara merata dan berkeadilan. (faz/ipg)