
Prof. Rhenald Kasali Guru Besar Universitas Indonesia dan Founder Rumah Perubahan menyebut di tengah badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) industri media, cara untuk tetap kuat harus mempertahankan reputasi dan kredibiltas.
Dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya yang membahas tema “Algoritma Menggantikan Ruang Redaksi” menurutnya, banyaknya industri media tumbang karena perubahan teknologi.
“Job disruption, jadi pekerjaan hilang karena disrupsi, berkurang jauh sekali. Ini terjadi karena perubahan teknologi. Media jelas sekali dulu pakai kamera besar-besar. Di studio harus ada orang makeup dan lain-lain. Sekarang hanya ponsel, tidak perlu pakai lampu makeup. Konten bisa langsung dibuat,” tuturnya saat mengudara, Selasa (6/5/2025).
Gejolak ini tidak lagi seperti job crisis, yang dampaknya hanya sementara, dan industrinya bisa hidup lagi.
“Misalnya kita lihat pabrik tekstil tutup orang di-PHK, itu gejolak sesaat tapi nanti ada lagi yang buka pabrik tekstil karena tetap dibutuhkan,” ujarnya.
Selain itu, kebutuhan atau cara konsumen mendapatkan informasi sudah berkembang. Berdasarkan data, Prof. Rhenald menyebut Masyarakat menghabiskan waktu paling banyak, hampir 8 jam untuk mengakses internet dalam sehari. Sedangkan menonton televisi kurang dari 3 jam.
“Sekarang orang nonton TV 2 jam 40 menit per hari. Akses sosial media 3 jam 11 menit sehari. Internet 7,5 jam sehari,” bebernya.
Yang bisa dilakukan media, menyesuaikan perkembangan kemajuan teknologi untuk mencari pembiayaan agar tetap hidup. Salah satunya Radio Suara Surabaya yang diapresiasi masih bisa dicintai pendengarnya dan dibutuhkan pengiklan.
“Radio SS dicintai masyarakat Surabaya, jawa Timur, punya komunitas, punya kedekatan, mau enggak mau pengiklan harus menggunakan,” ucapnya.
Di tengah situasi algoritma sosial media yang menentukan informasi ia menyebut media harus tetap mampu menjaga reputasi dan kredibilitasnya.
“Harus pandai mencari uang di sana (sosial media). Adsense sosmed harus tetap didapat. Jangan mengurangi kualitas, akhirnya masyarakat akan tahu mana yang benar,” imbuhnya.
Masyarakat, harus tetap mendukung media resmi untuk mengandalkan kebenaran informasi.
“Media melakukan cover both side. Sementara influencer bekerja sendiri, dengan cepat (dibantah) buzzer yang bekerja, lalu Masyarakat terpecah enggak tahu yang mana yang benar,” ucapnya.
Pemerintah, harus bersikap dengan aturan yang menindak tegas penyebar kebohongan atau pencipta konten-konten yang merusak.
“Kita harus antisipasi, pemerintah harus bikin aturan. Masyarakat diperkuat, jangan sampai berhadapan dengan kebohongan-kebohongan itu,” paparnya. (lta/iss)