Rabu, 6 Agustus 2025

Biaya Hidup Tinggi, Surabaya Ditekan Gaya Hidup Urban hingga Harga Properti

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi - Gemerlap wilayah pusat Kota Surabaya di kala malam. Foto: PLN

Kota Surabaya, sebagai pusat bisnis dan pendidikan di Jawa Timur, masuk dalam daftar lima kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023.

Tingginya populasi penduduk dan permintaan barang serta jasa di kota ini mendorong kenaikan harga kebutuhan pokok, menjadikan biaya hidup rata-rata rumah tangga mencapai Rp13.357.751,79 per bulan, jauh di atas Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya 2024 sebesar Rp4.725.479.

Meski menempati urutan ketiga setelah DKI Jakarta dan Kota Bekasi, tingginya biaya hidup di Surabaya menjadi tantangan bagi warganya, terutama karena kesenjangan antara biaya hidup dan UMK.

Pwee Leng dosen manajemen Universitas Kristen Petra Surabaya menyatakan, tingginya biaya hidup di Surabaya tidak semata-mata karena kenaikan harga barang dan jasa, melainkan juga dipengaruhi oleh gaya hidup urban masyarakatnya.

“Sebenarnya bukan disalip oleh UMK, tapi biaya hidup kita ini disalip oleh gaya hidup,” terang Pwee Leng dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (6/8/2025).

Menurut Pwee Leng, ada tiga faktor utama yang mendorong tingginya biaya hidup di Surabaya. Pertama, harga properti yang masih tergolong tinggi, terutama di wilayah strategis. Biaya sewa apartemen, kamar kos, hingga harga rumah menjadi penyumbang signifikan pengeluaran rumah tangga.

Kedua, biaya transportasi turut membebani, terutama bagi warga yang mengandalkan kendaraan pribadi. “Kalau mayoritas warga masih menggunakan kendaraan pribadi, tentu ada tambahan biaya bahan bakar dan perawatan kendaraan,” jelasnya.

Faktor ketiga, yang dianggap paling menentukan, adalah gaya hidup urban. Sebagai kota metropolitan, Surabaya menawarkan berbagai hiburan, kuliner, dan pusat perbelanjaan.

“Ini sangat mendorong pola konsumsi masyarakat menjadi lebih tinggi,” sebutnya.

Dia menambahkan bahwa daya hidup ini sangat memengaruhi pengeluaran. Apalagi dengan tren seperti laundry, serta kebutuhan lain seperti paket internet dan penggunaan listrik yang meningkat karena kebutuhan perangkat elektronik.

Pwee juga menekankan bahwa persepsi mahal atau murahnya biaya hidup sangat bergantung pada gaya hidup individu dan pendapatan yang dimiliki.

Berdasarkan analisisnya, biaya hidup per individu di Surabaya berkisar antara Rp3.200.000 hingga Rp7.500.000 per bulan, tergantung pada kebutuhan dasar, pola konsumsi, dan jenis pekerjaan.

Angka ini, jika dibandingkan dengan UMK Surabaya tahun 2025 yang hampir mencapai Rp5 juta, sebenarnya masih memungkinkan warga untuk mencapai financial well-being, yaitu kondisi di mana kebutuhan pokok terpenuhi tanpa kekhawatiran akan masa depan.

“Namun, kalau kita lihat gaya hidup, masyarakat kita sekarang lebih ke gengsi atau FOMO. FOMO itu duluan daripada nalar logika yang benar. Jadi begitu pendapatannya naik, gaya hidupnya ikut naik juga. Itu yang terjadi,” sebutnya.

Pwee Leng pun mengingatkan agar masyarakat lebih bijak dalam mengelola keuangan. Dengan semakin mahalnya harga properti, transportasi, dan godaan gaya hidup urban, perencanaan keuangan yang matang menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. (saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Rabu, 6 Agustus 2025
33o
Kurs