
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali menegaskan pentingnya ketertiban administrasi kependudukan (adminduk), sebagai dasar perencanaan pembangunan kota. Salah satunya dengan aturan satu rumah maksimal tiga kartu keluarga (KK).
Eddy Christijanto Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya, mengatakan bahwa data kependudukan bukan sekadar angka atau catatan biodata, melainkan potret riil kondisi masyarakat di wilayah setempat.
“Artinya ketika jumlah penduduk di Surabaya ini 3.800.000 sekian itu ya memang penduduknya jumlahnya sebanyak itu, tidak cuma 2.000.000 saja,” kata Eddy dalam program Semanggi Surabaya di Radio Suara Surabaya, Jumat (3/10/2025).
Menurut Eddy, keakuratan data menjadi krusial karena seluruh pelayanan publik berbasis pada data kependudukan, mulai dari pajak, SIM, PBB, PLN, hingga perbankan.
“Semua pelayanan publik ini semuanya sudah berbasis data kependudukan. Termasuk swasta, perbankan itu basisnya adalah data kependudukan. Jadi ketika ada orang mau buka rekening, mau narik rekening itu akan di-cross check dengan data kependudukan,” jelasnya.
Selain untuk pelayanan publik, Eddy menyebut ada empat fungsi utama data adminduk:, yakni perencanaan pembangunan, pengalokasian anggaran, pembangunan demokrasi (pemilu, pilkada, pileg), serta kebutuhan aparat penegak hukum.
“Kita hampir setiap hari dimintai data, baik itu dari kepolisian, dari kejaksaan, termasuk proses-proses perdata. Misalnya kasus penipuan perbankan, pencairan asuransi, atau akta kematian palsu. Itu hampir setiap hari,” ujarnya.
Adapun salah satu upaya menertibkan adminduk tersebut, Pemkot Surabaya memperketat aturan pecah KK untuk memastikan data sesuai dengan kondisi lapangan. Yang mana, kini satu rumah diperbolehkan maksimal tiga KK.
Terkait hal itu, Eddy menegaskan alasannya karena banyak kasus satu alamat yang menampung tiga sampai lima KK. Padahal, saat dicek, yang benar-benar tinggal hanya satu keluarga.
“Makanya kita lakukan pengendalian terhadap pecah KK. Saking cintanya sama Surabaya, kita harus pastikan data ini akurat. Karena dampaknya nanti sampai ke pengalokasian anggaran. Pemerintah kota sekarang sudah punya program satu keluarga miskin satu sarjana. Kalau datanya tidak akurat, anggaran APBD yang dikeluarkan akan salah sasaran,” kata Eddy.
Ada empat faktor utama yang memperbolehkan pecah KK, yaitu menikah dengan buku nikah resmi, perceraian, pindah alamat, dan kematian kepala keluarga.
“Kalau nikah sirih tidak bisa kita lakukan sebagai dasar pecah KK. Kalau cerai pun harus resmi, tidak bisa cerai sepihak tanpa status hukum. Kalau pindah, baik dalam kota atau luar kota, juga harus lapor. Dan kalau kepala keluarga meninggal, otomatis terbit KK baru dengan nomor baru,” paparnya.
Eddy menambahkan, aturan ini sekaligus mengingatkan masyarakat bahwa pecah KK bukan sekadar formalitas administratif, melainkan transisi seseorang membentuk rumah tangga mandiri yang punya tanggung jawab.
Menurutnya, KK merupakan bukti transisi seseorang dari ketergantungan pada orang tua, menjadi membentuk rumah tangga mandiri. Kepala keluarga harus bertanggung jawab terhadap anggota keluarga, bukan cuma untuk gagah-gagahan karena sudah menikah.
Eddy mengakui, banyak masyarakat yang tidak melaporkan peristiwa penting seperti kematian, perceraian, atau pernikahan. Padahal, tertib adminduk menjadi syarat utama bagi pemerintah kota untuk merencanakan pembangunan dan mengalokasikan anggaran secara tepat sasaran.
“Kasus kematian tidak dilaporkan, yang sudah bercerai masih satu KK, yang menikah enggak ada KK baru, itu banyak. Padahal kalau bicara tertib adminduk, dampaknya luas sekali sampai ke perencanaan kota, anggaran, bahkan program-program sosial,” pungkas Eddy. (bil/ipg)