
Dr. Suko Widodo Drs. M. Si., Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga menyoroti penggunaan artificial intelligence (AI) dalam video yang diunggah Divisi Humas Polri di sosial media lalu menuai kontra dari masyarakat, hingga akhirnya unggahan itu dihapus. Video AI itu menggambarkan polisi sebagai sosok pahlawan.
“Ke depan AI akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Di sinilah perlu literasi digital kepada semua pihak. Guna menghindarkan maraknya hoaks dan disinformasi,” katanya, Selasa (1/7/2025).
Menurutnya, polisi terlalu memaksakan pembentukan imajinasi di mata publik lewat AI yang dinilai kurang realistis.
“Polisi terlalu memaksa diri dan kurang realistis dalam membentuk imajinasi di mata publik lewat AI,” ungkapnya.
Ia mengingatkan, AI hanya menawarkan visual apik, tapi tidak dibarengi trust building yang kokoh melalui dialog dua arah dan transparansi.
AI justru menjadi bumerang, ketika ada gap besar antara kondisi realitas dengan citra yang dipaksakan dibuat lewat AI.
“Maka dari itu, Polri wajib merancang alur persetujuan konten yang ketat, utamanya jika memanfaatkan AI,” tuturnya.
Menurutnya, polisi tidak hanya menyuarakan informasi, tapi harus mendengarkan masyarakat. Tujuannya, membangun komunikasi lebih humanis dan partisipatif. Transparansi jadi pondasi utama.
Ia mencontohkan, data penanganan kasus, statistik kejahatan, dan prosedur pengaduan harus mudah diakses dan diperbarui secara real-time. Kemudian, pesan institusi harus konsisten di semua kanal agar publik tidak bingung oleh narasi yang saling bertentangan.
“Kepolisian perlu membuka forum daring atau virtual town hall untuk menampung keluhan, saran, bahkan kolaborasi merancang solusi keamanan. Dengan pendekatan dua arah ini, kepercayaan publik dapat dibangun sekaligus dipertahankan secara berkelanjutan,” papar
Dosen FISIP Unair itu.
Ia mengingatkan kepolisian juga harus melakukan perubahan mendasar dengan mengadopsi cara kerja baru.
Salah satunya, membuka open data portal interaktif dan menerbitkan laporan transparansi berkala untuk memudahkan publik mengakses statistik kejahatan dan kinerja humas.
“Untuk itu, dibutuhkan tim riset dan monitoring yang menerapkan metodologi ilmiah. Misalnya social network analysis dan sentiment analysis. Serta kolaborasi dengan ahli komunikasi, data science, dan psikologi sosial untuk memetakan pola penyebaran hoaks dan merancang strategi respons paling efektif,” tandasnya. (lta/iss)