
Baru-baru ini muncul fenomena anak-anak yang terhubung dengan jaringan simpatisan teroris lewat platform game online seperti Roblox, yang kemudian menjadi perhatian serius aparat dan pendidik di Surabaya.
Terkait hal ini, Kompol Dr. Dani Teguh Wibowo, Katim Ops Satgaswil Jatim Densus 88 Anti Teror Polri, menegaskan bahwa modus radikalisasi anak melalui dunia maya sebenarnya bukan hal baru dan telah menjadi tren global.
“Kalau fenomena anak radikal kan tidak hanya dari game online sebenarnya. Bahwa media sosial yang seharusnya menjadi hal yang baik bagi kita, semuanya bagaikan pedang (bermata dua), bisa digunakan yang baik bisa juga digunakan yang jelek. Akhirnya tergantung orang yang menggunakannya itu,” kata Dani saat mengudara di Program Semanggi Suroboyo di studio Radio Suara Surabaya, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, PBB bahkan pernah mengingatkan bahwa media sosial dan game online bisa digunakan oleh organisasi teror untuk meradikalkan sebuah individu, termasuk anak-anak. Proses indoktrinasi pun dilakukan dengan cara yang sangat halus dan bertahap.
“Caranya pasti sama dengan main game biasa. Tapi kan ada beberapa game yang bisa di-setting dengan memberikan simbol-simbol, dengan pakaian yang mencirikan kelompok mereka, dan lawannya siapa. Itu kan tertanam perlahan-lahan pada pemikiran anak,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketika anak sudah intens bermain dan mulai nyaman di dunia game tanpa pendampingan, mereka perlahan digiring masuk ke komunitas yang lebih kecil dan tertutup, misalnya grup percakapan di platform lain.
Disana, mereka akan mendapat pembahasan yang lebih dalam lagi, misalnya tentang ideologi-ideologi yang diajarkan kepada anak-anak tersebut sehingga terpapar paham radikal.
Kompol Dani menyebut, dari temuan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) dan Densus 88, rata-rata usia anak yang terpapar berada di bawah 18 tahun, bahkan ada yang masih berusia 15 tahun.
“Yang pasti mereka masih dalam kategori anak. Di bawah 18 tahun, ada lah mungkin 15,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa narasi ideologis dalam game sering disamarkan lewat role play bertema kepahlawanan dan romantisme perjuangan kelompok tertentu. Musuh dari kelompok tersebut, yang kemudian dibangun narasi untuk diperangi.
Menurut Dani, komunikasi digital tanpa batas dan minimnya interaksi sosial langsung membuat anak-anak lebih rentan terhadap pengaruh tersebut.
“Cara perilaku dan cara hidup kita bisa berubah dengan media sosial. Bahkan ikatan-ikatan sosial yang kuat itu akan memudar. Termasuk di keluarga, itu juga membawa pengaruh ketika orang tua sibuk,” jelas Dani.
Karenanya, ia mengingatkan, waktu anak bermain game atau bersosialisasi di dunia maya sering kali lebih banyak dibandingkan waktu untuk berbicara dengan orang tua.
“Orang tua seharusnya juga memberikan waktu untuk ngobrol dengan anak-anak itu. Itu sangat penting menurut saya,” bebernya.
Dia berpesan, kunci mencegah radikalisme digital adalah keterlibatan aktif orang tua dan sekolah dalam mendampingi anak di dunia maya.
“Kalau anak waktunya lebih lama bermain game daripada berbicara dengan orang tua, itu seharusnya jadi atensi. Orang tua harus memberikan waktu untuk ngobrol dengan anak-anaknya,” pesan Kompol Dani.
Respon Dunia Pendidikan
Menanggapi hal tersebut, Yusuf Masruh, Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya pada kesempatan yang sama menilai bahwa fenomena ini menjadi tantangan bersama antara sekolah dan keluarga.
“Alhamdulillah ya, ini kan dapat ilmu baru. Di pendidikan itu kalau bisa ya ilmunya memang lebih. Kalau siswanya satu ya gurunya dua. Mudah-mudahan kepala dinasnya tiga. Ini hari ini saling isi dan kita semua enggak boleh menyepelekan. Soalnya anak-anak ini produk masa depan yang harus kita siapkan,” kata Yusuf.
Menurutnya, anak tidak perlu dilarang berinteraksi dengan dunia digital, namun harus didampingi dan diarahkan. Jika dilarang, kata Yusuf, potensinya anak tersebut akan tertinggal dari eranya sendiri.
Ia menegaskan, penggunaan gawai oleh anak harus diatur dengan manajemen waktu yang jelas antara belajar, istirahat, dan komunikasi.
“Di sekolah sudah ada manajemen waktu untuk anak-anak. Harapan kami di keluarga itu manajemen yang menyirami itu juga diterapkan,” kata Yusuf.
Dalam konteks pencegahan paham radikal di lingkungan sekolah, Yusuf menyebut para guru sudah dibekali kemampuan untuk mendeteksi tanda-tanda intoleransi dan radikalisme sejak dini.
“Guru-guru insyaallah sudah tahu. Jadi kalau ada anak yang intoleran, tidak mau ada perbedaan, itu kelihatan. Misalnya enggak senang dalam bentuk kecenderungan, itu bisa dideteksi. Guru-guru tahu,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pendidikan karakter dan kegiatan kebangsaan terus diperkuat di sekolah-sekolah Surabaya. Salah satunya sekolah AREK Surabaya yang masing-masing huruf memiliki maknanya.
“Kami punya sekolah Arek Surabaya — A-nya aman, R-nya rekreatif, E-nya edukatif, dan K-nya kegotongroyongan. Ini jiwa-jiwa kebersamaan nasionalis. Harapannya teman-teman guru bisa memotivasi anak-anak memberi ruang waktu yang tidak disisi terus, contohnya pramuka, paskibra, dan upacara,” kata Yusuf.
Yusuf juga menegaskan pentingnya sinergi antara sekolah, guru BK, PKN, dan agama untuk memberikan pemahaman ideologis yang sehat dan nasionalis kepada siswa.
“Sudah kami antisipasi. Sudah pertemuan pas sekolah sama Pak Dani dulu. Nanti kita kembangkan dengan guru BK, PKN, guru agama, biar nanti sinergis,” ujarnya.(bil/ipg)