
Iduladha bukan sekadar ritual penyembelihan hewan kurban. Lebih dari itu, ibadah kurban merupakan simbol spiritual untuk membebaskan diri dari keterikatan terhadap dunia dan segala pesonanya.
Demikian disampaikan Haedar Nashir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam refleksinya menjelang Hari Raya Iduladha, Kamis (5/6/2025).
Menurut Haedar, esensi kurban bukan terletak pada daging atau darah hewan yang dikurbankan, melainkan pada ketakwaan yang tumbuh dari hati setiap muslim.
Ia mengutip ayat Al-Qur’an, “Lan yanala Allah luhumuha wala dima’uha walakin yanaluhu at-taqwa minkum” (QS Al-Hajj: 37), untuk menekankan pesan spiritual di balik ibadah ini.
“Maka makna terdalamnya, apa yang kita miliki dalam kehidupan ini, harta, kekuasaan, dan segala kesenangan dunia, sifatnya nisbi. Allah mengajarkan kita untuk ‘berkurban’, yaitu memanfaatkan duniawi itu untuk ibadah dan kemaslahatan umat, bukan untuk ditumpuk dengan tamak,” ungkap Haedar.
Lebih lanjut, Haedar menekankan bahwa manusia secara fitrah memiliki keinginan untuk menguasai dan memiliki. Namun bila tak dikendalikan, keinginan itu bisa melahirkan kerakusan dan ketidakpuasan tanpa batas, bahkan dengan cara-cara yang tidak halal seperti korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
“Manusia yang rakus dan tenggelam dalam pesona dunia tak akan pernah merasa cukup, hingga ajal datang menjemput. ‘Alhâkumut-takâtsur, hattâ zurtumul-maqâbir’, jelasnya, mengutip Surah At-Takatsur.
Bagi Haedar, inilah pesan penting dari kurban: mengoreksi diri, menakar kembali posisi kita sebagai hamba, dan melepaskan diri dari ketamakan. Kurban adalah momen untuk menguji sejauh mana kita rela menyerahkan yang kita cintai demi kebenaran, kebaikan, dan kemaslahatan bersama.
“Jika kita bisa melepaskan kepentingan pribadi demi nilai-nilai luhur dan kehidupan yang lebih maslahat, maka kurban sejatinya telah membebaskan kita dari pesona duniawi menuju kehidupan yang cukup, moderat, dan penuh berkah,” pungkasnya.(faz/ham)