
Yusuf Masruh Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya menjelaskan program “Kamis Melipis” dirancang agar siswa terbiasa menggunakan bahasa daerah, mulai dari tingkat kosakata dasar hingga Kromo Inggil, sesuai jenjang pendidikan mereka.
“Hari Kamis itu kita mulai ngobrol pakai bahasa Jawa. Bisa mungkin. Kalau sesama siswa, bisa mulai dari ngoko, lalu ada madya, dan Kromo Inggil. Harapan kami ini bisa membantu membentuk karakter anak-anak sejak dini,” ujar Yusuf saat mengisi program Semanggi Suroboyo, Jumat (18/7/2025).
Sementara menurut Yusuf, penggunaan bahasa Jawa dalam konteks keseharian anak bukan semata-mata soal bahasa, tetapi juga menyangkut nilai-nilai kesantunan dan penghormatan. Ia mencontohkan bagaimana bahasa Jawa dapat membentuk sikap halus dan penuh hormat pada sesama.
“Contoh kecil saja, kalau kita memberi makanan, lalu bilang: ‘Budi, monggo didahar, sudah dicawiskan makanannya.’ Itu kan halus. Dibanding pakai bahasa Indonesia: ‘Dikasih makan kok gak dimakan.’ Kan beda nuansanya,” terang Yusuf.
Sebelumnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya resmi menggalakkan program “Kamis Melipis”, sebuah gerakan budaya yang mendorong siswa di jenjang SD dan SMP untuk menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan setiap hari Kamis.
Program ini tidak hanya menjadi bagian dari pendidikan karakter, tetapi juga sebagai upaya menghidupkan kembali kearifan lokal di tengah arus globalisasi.
Program ini diterapkan secara bertahap. Di jenjang PAUD, anak mulai dikenalkan kosakata bahasa Jawa secara ringan. Di SD, mereka mulai “merakit” kalimat sederhana, dan di SMP diarahkan lebih jauh untuk bisa memahami konteks berbahasa Jawa yang baik dan benar.
“Di PAUD mulai dari pengenalan kosakata, di SD merakit, supaya anak tidak kaget. Nanti bisa ngobrol pakai bahasa Jawa dengan temannya. Santai saja, gak perlu sempurna dulu, yang penting mereka terbiasa,” imbuhnya.
Yusuf mengungkapkan bahwa antusiasme terhadap program ini cukup tinggi. Beberapa sekolah bahkan mulai memadukan Kamis Melipis dengan kegiatan budaya seperti kerawitan dan keguritan, agar pembelajaran bahasa Jawa terasa menyenangkan.
“Kemarin di salah satu SD ada kerawitan, ada anak-anak yang tampil baca parikan seperti ‘nang taman tilok kembang.’ Itu susah lho, tapi mereka senang. Nah, ini yang membuat anak nyaman, dan budaya kita hidup kembali,” tuturnya.
Terkait anak-anak non-Jawa atau yang belum familiar dengan bahasa Jawa, Yusuf menekankan bahwa program ini tidak bersifat wajib penuh, melainkan bersifat edukatif dan terbuka bagi semua.
“Yang penting itu pengenalan. Semakin banyak anak-anak diberi pengalaman komunikasi, baik itu bahasa Jawa maupun Inggris, akan makin baik. Lingkungan sekolah kan tempat belajar. Gak harus semua langsung bisa,” katanya.
Program “Kamis Melipis” juga didukung oleh wali murid. Menurut Yusuf, para orang tua menyambut baik gerakan ini karena melihat manfaatnya dalam membentuk karakter dan rasa hormat pada budaya lokal.
“Insyaallah wali murid mendukung. Karena ini bukan cuma soal bahasa, tapi membangun kesadaran akan identitas budaya. Dan anak-anak pun senang, tidak merasa terbebani,” pungkasnya.
Selain “Kamis Melipis”, Pemkot Surabaya juga menjalankan program serupa seperti “Jumat Bahasa Inggris”, untuk meningkatkan keterampilan komunikasi siswa secara seimbang antara bahasa daerah, nasional, dan asing. (bil/ipg)