Nurhidayatullah Romadhon Dosen Biologi Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya mngingatkan, mikroplastik bukan hanya berdampak buruk pada lingkungan, tetapi juga berimbas serius pada kesehatan masyarakat.
“Ini bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga isu biologis dan kesehatan publik. Mikroplastik berukuran sangat kecil, bahkan lebih kecil dari ukuran partikel debu, sehingga partikel ini dengan mudah terhirup ke dalam paru-paru,” katanya, Senin (27/10/2025).
Ia mengingatkan bahwa studi terbaru oleh Winiarska dan koleganya pada 2024 dalam Environmental Research menunjukkan jika partikel mikro dan nanoplastik dapat menembus sistem pernapasan, tertimbun di jaringan paru, bahkan masuk ke aliran darah.
Dalam beberapa penelitian, mikroplastik juga ditemukan di plasenta, hati, dan otak manusia. Dengan kondisi itu, ia menyatakan bahwa partikel plastik telah menembus batas biologis tubuh manusia.
Dampak mikroplastik, tegas dia, tidak bisa dianggap remeh, apalagi akumulasi mikroplastik dapat memicu peradangan, stres oksidatif, gangguan hormon, bahkan kerusakan DNA pada tingkat sel. Paparan jangka panjang juga berpotensi meningkatkan risiko penyakit pernapasan kronis dan gangguan metabolisme.
“Fakta ini memperkuat pandangan bahwa mikroplastik bukan hanya masalah estetika lingkungan, melainkan ancaman biologis yang nyata,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga mengatakan bahwa riset terbaru Ecoton dan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) telah mengungkap temuan mengejutkan udara Gresik mengandung mikroplastik dalam jumlah tertinggi di Indonesia.
Dalam waktu dua jam, ditemukan 76 partikel mikroplastik dalam 26 sampel darah yang diambil, 117 partikel mikroplastik dalam 11 sampel air ketuban dan 52 partikel dalam urin ibu hamil yang menjadi sampel.
Hasil itu, tegas dia, bukan sekadar angka statistik, melainkan peringatan keras bahwa polusi plastik kini telah menembus ruang hidup yang paling vital yakni udara yang kita hirup setiap hari.
“Meski riset Ecoton memberikan gambaran awal yang penting, studi lanjutan tetap dibutuhkan untuk memahami dimensi biologis dan temporal dari paparan mikroplastik udara,” ucapnya.
“Durasi pengambilan sampel yang singkat belum cukup menggambarkan variasi musiman, aktivitas lalu lintas, atau perbedaan wilayah industri dan permukiman. Selain itu, klaim tingkat bahaya mikroplastik perlu dilengkapi dengan data toksikologi eksperimental agar tidak menimbulkan kesimpulan berlebihan,” imbuhnya.
Bagi dunia pendidikan, kata dia, isu tersebut membuka ruang pembelajaran kontekstual. Yakni, bisa melibatkan mahasiswa biologi untuk meneliti mikroplastik di lingkungan kampus atau wilayah perkotaan, sekaligus memahami dampaknya terhadap organisme.
Bahkan, kolaborasi lintas disiplin juga penting dilakukan, misalnya antara biologi dan desain komunikasi visual, untuk menyebarkan edukasi publik melalui infografis dan kampanye visual tentang bahaya mikroplastik udara.
Hal itu penting, lanjut dia, karena masuh ada masyarakat yang mengira bahwa plastik hanya mencemari lautan dan peraiaran saja, padahal udara yang setiap hari dihiurip manusia saat ini sudah tidak lagi bebas dari partikel plastik yang tak kasat mata.
“Mikroplastik ukurannya kecil, tetapi dampaknya besar bagi kesehatan mahluk hidup. Mikroplastik bisa masuk ke paru-paru, menumpuk di tubuh, dan perlahan merusak keseimbangan alam yang menopang kehidupan kita,” ucapnya.
“Oleh karena itu, pengelolaan plastik tidak boleh lagi berhenti pada ajakan ‘kurangi kantong plastik’ semata. Kita perlu memikirkan pola dari hulu ke hilir mulai dari bagaimana pakaian sintetis, pembakaran sampah, hingga produksi industri berkontribusi pada polusi udara yang tak terlihat namun mematikan,” pungkasnya. (ris/saf/ipg)







