Rabu, 24 Desember 2025

Nyala Energi yang Menghidupkan Harapan Kampung Lontong Surabaya

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Yunus (51) perajin lontong di Kampung Lontong Surabaya, sekaligus generasi penerus usaha ibunya Ramiyah pelopor produksi lontong di kampung itu, Sabtu (13/9/2025). Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net

Azan zuhur baru saja berkumandang ketika Yunus (51) kembali duduk di lantai rumah kecilnya di Kupang Krajan, Surabaya, Sabtu (13/9/2025) siang itu. Di kampung padat penduduk yang kini akrab disebut Kampung Lontong Surabaya, suara panci dan kayu bakar sudah seperti detak jantung kehidupan. Nyala api di dapur bukan sekadar urusan memasak, tapi penopang hidup puluhan keluarga yang menggantungkan nafkah dari sebatang lontong.

Selama tiga dekade terakhir, Yunus tak pernah jauh dari panasnya bara dan wangi daun pisang. Ia telah menanak harapan setiap hari, membungkusnya rapat-rapat bersama beras dan uap air, ditemani semangat yang tak kunjung padam.

Begitu suasana kampung kembali riuh oleh aktivitas siang hari seperti suara anak-anak, deru motor, dan langkah pedagang, Yunus mulai bersiap melanjutkan pekerjaannya. Ia memulai lagi proses produksi lontong untuk dijual keesokan pagi. Aktivitas yang tak pernah benar-benar berhenti; pagi tadi saja, ia baru menuntaskan jualan di Pasar Asem sekitar pukul 09.00 WIB.

Hampir 24 jam dalam sehari, waktunya habis untuk membuat lontong. Sejak 1995, keputusan Yunus membantu usaha yang dirintis sang ibu, Ramiyah, menjadi jalan hidupnya. Ramiyah dikenal warga sebagai pelopor lontong di kampung ini, perempuan tangguh yang memulai usaha kecil yang kini menular ke banyak rumah di Kupang Krajan.

Di ruang tamu berukuran 3×2 meter yang kini berubah fungsi menjadi gudang logistik, Yunus duduk bersila. Di depannya, tumpukan daun pisang dan baskom berisi beras sudah menunggu. Dengan gerakan yang ritmis dan sabar, ia menggenggam segenggam beras, lalu memasukkannya satu per satu ke gulungan daun pisang, membentuk lontong yang siap direbus.

Butuh waktu sekitar tiga jam untuk menyelesaikan semuanya, sekitar 700 lontong sehari. Sepuluh keranjang, masing-masing 70 lontong.

Menjelang sore, sekitar pukul 18.00 WIB, semua lontong akan dimasak dalam dandang besar. Saat itulah, aroma khas daun pisang dan beras kukus mulai memenuhi udara kampung, pertanda harapan baru tengah ditanak untuk esok hari.

Dari Dapur Ramiyah ke Tangan Yunus: Warisan yang Tak Pernah Padam

Foto masa muda almarhumah Ramiyah pelopor perajin lontong di Kampung Lontong Surabaya, Sabtu (13/9/2025). Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net

Rutinitas itu, diakui Yunus (51), kerap terasa melelahkan dan membosankan. Namun semangatnya selalu tumbuh kembali setiap kali ia mengingat perjuangan Ramiyah, yang memulai dagang lontong pada tahun 1984. Dari dapur sederhana, usaha itu bukan hanya menghidupi keluarganya, tapi kini menjaga nadi kehidupan 64 keluarga di Kampung Lontong Surabaya.

“Dulunya Ibu dan Ayah (saya) itu jualan tempe, lalu ganti jualan ayam potong, begitu 1984 baru mulai jualan lontong,” kenangnya.

Awalnya, Ramiyah hanya mencoba-coba. Tak disangka, lontong buatannya laku keras hingga memberdayakan banyak tetangga. Dari yang semula sekadar membantu, mereka kemudian membuka dapur produksi sendiri. Dari satu rumah ke rumah lain, aroma daun pisang rebus dan beras tanak menjalar. Sejak saat itu, warga mulai menyebut kawasan ini sebagai Kampung Lontong Surabaya.

Yunus baru ikut terjun pada 1995, membantu usaha ibunya dari satu dapur produksi yang dimiliki keluarga. Ia dan sang istri memulai dari nol, memasarkan lontong dengan sepeda angin, membawa satu keranjang berisi 70 lontong ke pasar. Usahanya perlahan tumbuh. Dari dua keranjang, lalu lima, hingga mencapai 25 keranjang per hari.

“Setelah habis 25 keranjang baru kami beli sepeda motor,” katanya.

Jerih payah itu membuahkan hasil. Dari berjualan lontong, mereka bisa membeli motor secara tunai, membeli tanah, dan membangun rumah tak jauh dari rumah produksi sang ibu. Namun pada 2012, cobaan datang. Istri pertamanya meninggal dunia karena sakit jantung.

Sejak saat itu, Yunus menjalankan semua sendirian. Sementara usia Ramiyah kian menua, tanggung jawab menghidupi dua anak yang masih sekolah tetap ia pikul. Ia terus bekerja, karena di dapur itu pula, harapan keluarganya ditanak setiap hari.

Tahun 2021, pandemi Covid-19 membawa duka lain. Ramiyah, sosok yang menjadi sumber inspirasi, berpulang. Namun berbekal pengalaman panjang, Yunus tak goyah. Ia melanjutkan usaha ibunya, menjaga api yang telah dinyalakan sejak bertahun-tahun.

Anak tengah dari lima bersaudara itu tidak sendiri. Tiga saudaranya juga mengikuti jejak Ramiyah dengan membuka dapur produksi lontong masing-masing.

“(Yang meneruskan usaha lontong) saya, dua kakak saya, satu adik saya,” katanya.

Kini, setiap kali mengingat ibunya, Yunus merasa bangga. Ramiyah bukan hanya membangun usaha keluarga, tapi juga mengubah wajah kampung.

Meski semakin banyak pedagang lontong, Yunus tak melihat mereka sebagai pesaing. Ia percaya rezeki sudah diatur.

“Satu, kuncinya itu harus dicuci bersih, kalau enggak, gampang basi. Kedua, cara rebusnya harus lebih lama. Di sini (Kampung Lontong Surabaya) kebanyakan (merebusnya) 6-7 jam, kalau saya 8-10 jam,” jelasnya sambil mengisi beras dengan tangan.

“Lalu kemasan daun hijaunya di dalam, nanti lontongnya jadi ayu (cantik),” tambahnya.

Tahun 2022, kehidupan Yunus kembali mendapat warna baru. Ia menikah lagi dengan perempuan yang bersedia berbagi tenaga dan waktu.

“(Ada) penghasilan sampingannya, jual roti. Kalau ada pesanan bikin, terus istri juga jualan di kantin sekolah SD,” tuturnya.

Berkat usaha itu, saudara-saudaranya pun ikut menikmati hasil. Beberapa berhasil membeli rumah, bahkan berangkat umrah dari hasil jualan lontong.

Yunus sendiri mengaku cukup dengan penghasilan hariannya yang tak kurang dari Rp300 ribu. “Anak saya yang pertama Aulia Yuni, umur 32 tahun, sudah menikah punya anak satu. Kalau yang kecil Aulia Febri memang penginnya kerja, umur 29 tahun,” tambahnya.

Sore hari itu, sekitar pukul 15.00 WIB, 700 lontong buatannya telah siap untuk masuk ke dandang besar di dapur, hanya berjarak satu tembok dari ruang tamu. Yunus beristirahat sejenak sebelum menyalakan kompor pukul 18.00 WIB.

“(Proses masak lontongnya) sampai dini hari, saya tinggal tidur,” ujarnya.

Baginya, nyala api di dapur bukan sekadar alat memasak. Itu sumber kehidupan. Gas elpiji 3 kilogram yang disubsidi pemerintah menjadi penyelamat, menahan biaya produksi agar tak melambung. Ia masih ingat masa ketika menggunakan minyak tanah dengan harga yang jauh lebih mahal.

Kini, lontong buatannya dijual seharga Rp2.000 per batang, panjangnya sekitar 10-12 sentimeter.

“Kalau sehari itu saya satu tabung setengah. Jadi dua tabung itu enggak habis semua. Elpiji melon (3 kilogram) ini sangat membantu sekali,” ungkapnya lagi.

Begitu azan magrib selesai, Yunus mulai menanak lontong-lontong yang sudah ditata rapi. Setelah api dinyalakan, uap air naik perlahan, aroma daun pisang memenuhi udara kampung.

Malam makin larut, dan Yunus akhirnya beristirahat. Meski tubuhnya terlelap, pikirannya tetap siaga. Pukul 02.00 WIB dini hari ia harus bangun untuk memastikan lontong matang sempurna yang sudah dimasak delapan jam lamanya.

Usai subuh, ia mempersiapkan keranjang-keranjang lontong matang untuk dibawa ke Pasar Asem. Biasanya, 700 lontong itu baru habis seluruhnya sekitar pukul 08.00 WIB.

Sepulang dari pasar, Yunus akan beristirahat hingga pukul 11.00 siang, sebelum siklus panjang itu kembali berulang.

Dapur Yuliana Penyangga Masa Depan Anak-Anaknya

Yuliana (45) perajin lontong yang memakai gas elpiji 3 kilogram untuk produksi, sedang memasukkan beras ke daun pisang pembungkus lontong, ditemani Darno (52) suaminya, Sabtu (13/9/2025). Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net

Usaha lontong yang dirintis Ramiyah dan kini diteruskan Yunus telah menjadi oase di tengah kampung yang dulu masih berkubang dalam garis kemiskinan. Dari dapur sederhana itu, warga Kupang Krajan menemukan harapan serta pegangan hidup untuk menjemput masa depan yang lebih pasti.

Salah satunya adalah Yuliana (45). Ibu rumah tangga yang melanjutkan usaha lontong milik ibunya sejak 18 tahun lalu itu kini menjadi salah satu penopang ekonomi keluarga.

“Dari anak pertama saya kelas TK, umur 5 tahun. Sebenarnya saya ini usaha turun-temurun. Punya ibu. Terus ibu kan sudah tua, terus ganti saya,” ujarnya sambil menggulung daun pisang yang akan menjadi pembungkus lontong.

Siang itu, suasana di rumah Yuliana nyaris serupa dengan rumah-rumah lain di Kampung Lontong. Udaranya bercampur aroma daun pisang yang baru dilap. Di ruang tamu berukuran 3×3 meter itu, tumpukan keranjang berisi gulungan daun memenuhi hampir seluruh ruang. Di sudut lain, Darno (52), suaminya, tekun membersihkan daun pisang, sementara dua saudara Yuliana turut membantu menyiapkan bahan produksi.

Sejak 2020, Darno tak lagi bekerja di luar rumah. Ia memilih fokus mendampingi istrinya, menyiapkan pesanan lontong yang semakin banyak dari hari ke hari.

Rutinitas itu berlangsung tanpa jeda. Tak ada jam tidur siang, tak ada waktu senggang panjang. Namun Yuliana bersyukur, karena dari kesibukan yang berulang itulah masa depan anak-anaknya perlahan terbuka.

Putra sulungnya, Muhammad Adi (23), kini sudah menamatkan sekolah. Sementara Aura Cinta (16) masih duduk di kelas dua SMA. Meski biaya pendidikan terus meningkat, pasangan ini tetap mampu bertahan dari hasil lontong yang dijual dengan harga Rp1.200 untuk ukuran kecil dan Rp1.500 untuk ukuran besar.

“Ya, alhamdulillah lah kita bisa memenuhi kebutuhan anak,” ucapnya dengan nada lega.

Setiap lembar rupiah dari hasil penjualan lontong dikumpulkan dengan sabar. Bagi Yuliana dan Darno, perjuangan mereka bukan sekadar mencari nafkah, tapi memastikan anak-anak mendapat pendidikan terbaik.

“Sebenarnya saya sudah capek mau istirahat. Cuma anaknya kan masih sekolah. Kita selesaikan dulu kewajiban kita sebagai orang tua ya, pendidikan anak-anak kita utamakan dulu,” tuturnya.

Dari hasil jualan lontong pula, Yuliana berusaha menabung sedikit demi sedikit. Bukan hanya untuk kebutuhan harian, tapi juga sebagai bekal masa depan anak-anaknya kelak.

“Orang tua kalau punya anak kan harus ada sedikit-sedikit juga ada peninggalan lah. Nah, buat masa depannya anak-anak. Mudah-mudahan aja saya dikasih umur yang panjang, sehat, biar bisa mewujudkan cita-citanya anak,” jelasnya pelan.

Menjelang sore, gulungan daun pisang yang selesai dibentuk segera dipindahkan ke dapur kecil di teras rumah. Tabung elpiji 3 kilogram yang ditumpuk di ruang tamu mulai diangkut satu per satu. Saat azan magrib berkumandang, api pun dihidupkan, tanda dimulainya proses memasak lontong.

Kebanyakan lontong buatan Yuliana sudah dipesan lebih dulu oleh pelanggan tetap, mulai dari pengusaha Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) hingga restoran.

“Saya banyak kirim ke baksoan (penjual bakso),” katanya singkat.

Dapur Tina Memenuhi Kebutuhan, Menghidupi Sesama

Suasana produksi lontong di ruang tamu rumah Agus Mistina (46) dengan memberdayakan para tetangganya, Sabtu (13/9/2025). Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net

Hampir setiap rumah di Kampung Lontong Surabaya punya pemandangan serupa, ruang tamu yang disulap menjadi gudang logistik, tempat menyiapkan ratusan hingga ribuan lontong sebelum dimasak di dapur. Bau daun pisang, uap air, dan anyaman keranjang berisi lontong jadi bagian dari kehidupan sehari-hari di kampung padat penduduk itu.

Begitu pula di rumah Agus Mistina (46). Di ruang tamunya, terhampar 3.000 bungkus lontong yang siap dimasak.

Sama seperti Yunus dan Yuliana, perjalanan Mistina, yang akrab disapa Tina, bermula dari niat sederhana. Lima belas tahun lalu, ia hanya ingin membantu suami mencari tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Dulu sama suami jual lontongnya,” ujarnya pelan.

Saat itu, dua atau tiga keranjang lontong sudah cukup membuat dapurnya tetap mengepul. Tak pernah terbayang olehnya, pesanan bisa menembus tiga ribuan batang setiap hari, bahkan sampai mempekerjakan tetangga sekitar.

Namun hidup tak selalu mulus. Pada 2020, suaminya meninggal dunia. Tina sempat terpukul, tapi usahanya tak berhenti. Ia tetap melanjutkan produksi lontong, menjaga bara api dapur agar tak padam.

“Suamiku meninggal 2020, usahanya tetap lanjut terus,” tuturnya.

Lima belas tahun perjalanan itu membuahkan hasil. Dari dapur yang tak pernah sepi, Tina mampu menyekolahkan anak sulungnya, Novian (24), hingga lulus sarjana. Anak keduanya, Nora (17), kini duduk di bangku SMKN, sementara si bungsu, Adalia (10), masih bersekolah di kelas empat SD.

Yang membuatnya paling bersyukur, rezeki dari lontong bukan hanya miliknya. Dari dapur kecil itu, lima orang tetangga kini ikut menggantungkan hidup. Mereka membantu menyiapkan lontong setiap hari, mulai dari mengelap daun, melipat dan menggulung pembungkus, mengisi beras, hingga menata lontong ke dandang besar. Pekerjaan itu biasanya berlangsung setengah hari, tapi cukup untuk menambah penghasilan rumah tangga mereka.

Menjelang petang, sekitar pukul 18.00 WIB, tiga dandang besar di dapur Tina sudah siap digunakan. Ribuan lontong tersusun rapi, menunggu giliran untuk direbus hingga matang sempurna. Kali ini, bukan nyala kompor elpiji yang digunakan, melainkan gas bumi dari Perusahaan Gas Negara (PGN) yang sudah terpasang di rumahnya.

“Pakai PGN lebih aman. Soalnya bisa ditinggal-tinggal pergi. Saya biasanya tagihannya habis Rp5 juta sampai Rp6 juta,” katanya tegas.

Proses memasak lontong berlangsung selama 6 hingga 8 jam. Selama itu pula Tina memanfaatkan waktu untuk beristirahat, sebelum bangun dini hari guna mengangkat lontong-lontong yang sudah matang.

Pagi hari, udara kampung masih sejuk ketika keranjang-keranjang lontong itu diangkut ke Pasar Keputran. Sebagian dijual langsung di lapak, sebagian lagi dikirim ke pelanggan tetap, para pedagang makanan dan pengusaha kuliner yang setia memesan lontong buatan Tina.

Ketika Daun Bungkus Lontong Menopang Kehidupan

Novi (37) warga yang menjadi buruh pelipat daun pisang sebagai pembungkus lontong pesanan para perajin, Sabtu (13/9/2025). Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net

Di Kampung Lontong, Kupang Krajan, Surabaya, geliat ekonomi rumahan tak hanya berpijar dari dapur-dapur yang berasap. Di balik ratusan lontong yang tiap hari matang di atas dandang besar, ada tangan-tangan perempuan yang sabar bekerja dari pagi hingga siang, salah satunya Novi Wijayanti.

Perempuan 37 tahun itu menjadi salah satu dari puluhan warga yang diberdayakan oleh para perajin lontong seperti Yunus, Yuliana, dan Tina. Setiap hari, Novi menekuni pekerjaannya melipat daun pisang, bahan utama pembungkus lontong yang menjadi ciri khas kampung ini.

Rata-rata, ia bisa menuntaskan 60 keranjang daun pisang per hari, masing-masing berisi 70 gulungan. Upahnya dihitung per keranjang, Rp3.500, yang berarti ia dapat mengantongi sekitar Rp210.000 sehari.

“Aku kan borongannya bukan (melayani) satu orang atau dua orang, aku pegang lima orang. Satu orang kadang ada yang 20 keranjang, ada yang 15. (Ditotal keseluruhan) ada 60 keranjang hari ini,” ungkapnya.

Pekerjaan yang kini jadi rutinitas itu sudah ia lakoni lebih dari dua dekade lalu, sejak dia duduk di bangku sekolah dasar.

“Ya, daripada minta ke orang tua, pengin beli apa, daripada minta kan sama sepulang sekolah gitu bantuin ke ibunya Bapak Yunus (Ramiyah) pertama kali yang jual lontong itu, digaji Rp500 (dalam sehari),” ujarnya.

Dari sekadar membantu Ramiyah, pelopor usaha lontong di kampung itu, Novi kemudian membuka jasa khusus menggulung daun pisang bagi para pedagang lontong lain yang jumlahnya semakin banyak.

“Dulu itu Rp2.000 per keranjang, sekarang ini Rp3.000,” tambahnya.

Rutinitasnya dimulai sejak pukul 06.00 WIB, hanya berhenti untuk makan dan ke kamar mandi, hingga rampung sekitar pukul 13.00 WIB. Dari penghasilan hariannya, Rp25.000 ia sisihkan untuk membayar seorang saudara yang membantu menata gulungan daun pisang ke dalam keranjang.

Meski lelah, Novi tetap bertahan. Ia mengaku tak punya banyak pilihan pekerjaan lain yang bisa dijalankan sambil mengawasi dua anaknya di rumah. Sementara suaminya, Heru Subagio (42), hanya bekerja serabutan.

“Anak pertama Muhammad Risal Viandika, 18 tahun, kelas 3 SMA. Anak ketiga Askiyah 5 tahun. Anak kedua sudah meninggal 2015 umur 6 tahun,” ucapnya lagi.

Meski hari-harinya padat, Novi tetap menyimpan harapan. Ia ingin suatu saat bisa meneruskan usaha keluarga, memproduksi lontong sendiri sebagaimana dulu dilakukan ayahnya, yang kini diteruskan sang kakak.

“(Alasannya) melestarikan lontong. Sekarang masih bantuin Kakak aja setelah ngelipat daun selesai,” tambahnya.

Elpiji dan Gas Bumi, Dua Nadi yang Menghidupkan Kampung Lontong

Suasana dapur salah satu perajin lontong, Agus Mistina (46) dengan rata-rata produksi 3.000 lontong sehari, Sabtu (13/9/2025). Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net

Bukan hanya bagi pengusaha seperti Yunus, Yuliana, atau Tina, kisah Novi Wijayanti menjadi bukti bahwa energi, dalam berbagai bentuknya, benar-benar menghidupkan asa warga di kampung padat itu. Baik elpiji 3 kilogram dari Pertamina, maupun gas bumi dari Perusahaan Gas Negara (PGN), keduanya menjadi urat nadi yang menjaga dapur-dapur tetap berasap.

Sebagai penyedia energi, Pertamina Patra Niaga memastikan dukungan bagi para pelaku usaha kecil seperti mereka. Ahad Rahedi Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus, menegaskan komitmen perusahaannya untuk memberi kemudahan bagi para pengguna elpiji subsidi maupun tabung non-subsidi.

“Kami menyiapkan kelebihan-kelebihan seperti fasilitas trade-in, kemudahan untuk mendapatkan produk, layanan antar sampai ke lokasi produksi. Itu akan mempermudah masyarakat untuk menjalankan produksi UMKM-nya,” jelasnya lagi.

Ahad memastikan suplai elpiji untuk Kampung Lontong tetap aman dan memadai, menyesuaikan kebutuhan para perajin yang produksinya nyaris tak pernah berhenti. Di Jawa Timur sendiri, terdapat 71.910 UMKM pengguna elpiji subsidi.

“Jadi memang antara kami dengan PGN tidak bersaing di sektor konsumsi untuk rumah tangga cuman memang satu sisi untuk penggunaan elpiji rumah tangga untuk Kampung Lontong Surabaya memang di saat-saat produksinya turun akan terasa lebih efisien. Jadi itu mungkin menjadi dasar peralihan sementara dan kembali lagi mungkin nanti pada saat produksi tinggi menggunakan gas milik PGN,” tandasnya.

Nada dukungan serupa datang dari Arief Nurrachman Area Head PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk Sales and Operation Region (SOR) III Surabaya. Menurutnya, Kampung Lontong Surabaya menjadi lokasi kedua setelah Kampung Kue Jalan Rungkut Lor yang lebih dulu dialiri jaringan gas PGN di Surabaya.

“2023 kita lakukan pembangunan di wilayah Kampung Lontong Surabaya, sebelumnya lebih dulu Kampung Kue,” katanya.

Kini, di wilayah Banyu Urip dan Kupang Krajan, tercatat ada 700 pengguna gas bumi PGN, sembilan di antaranya adalah produsen lontong.

“Ya, kalau secara prinsip PGN dalam hal ini terus melakukan pengembangan jaringan infrastruktur gas bumi khususnya untuk rumah tangga,” ungkapnya.

PGN berkomitmen untuk terus hadir, memperkuat daya saing UMKM, dan membantu menekan biaya produksi melalui harga gas yang lebih ekonomis dibandingkan elpiji tabung. Arief menambahkan, pembangunan saluran dan pipa gas bumi juga akan terus digencarkan di berbagai wilayah.

Targetnya, hampir 60.000 titik jaringan gas bumi baru di Surabaya dan Gresik hingga tahun 2026.

Menuju Kampung Wisata Lontong Surabaya

Dari kanan ke kiri: Joko Prasetyo (pemimpin paguyuban Kampung Lontong Surabaya), Yunus (perajin lontong sekaligus anak dari pelopor perajin), dan Narji (pimpinan Koperasi Sentral Lontong Mandiri), ketiganya inisiator Kampung Lontong Surabaya bersama almarhum Ari. Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net

Nyala energi di Kampung Lontong Surabaya tak hanya memanaskan dandang berisi lontong, tapi juga menyulut semangat warganya untuk terus melangkah lebih jauh.

Pada 2007, semangat itu diwujudkan melalui berdirinya Paguyuban Kampung Lontong Surabaya, yang diinisiasi oleh beberapa warganya, yaitu Yunus, Ari, Narji, dan Joko. Tujuannya sederhana namun berani, membuat seluruh pengusaha lontong di kampung itu bisa berkembang bersama, saling menopang, dan menjaga api ekonomi agar tak padam.

Di bawah kepemimpinan Joko Prasetyo, paguyuban itu kini terus berbenah. Ia bermimpi suatu hari nanti lontong buatan puluhan perajin di kampungnya memiliki ciri khas tersendiri, menjadi identitas yang membedakan mereka dari produsen lain di Surabaya.

“Jadi selama ini kan mereka masih sendiri-sendiri. Kita belum punya standar lontong yang dari Kampung Lontong Surabaya ini yang membedakan apa sih dengan lontong lain,” kata Joko.

Langkah konkret pun mulai disiapkan. Perajin dengan pesanan di atas 5.000 lontong akan dikelola oleh Koperasi Sentral Lontong Mandiri, lembaga ekonomi kampung yang telah berdiri sejak 2009. Melalui sistem ini, produksi akan dibagi merata di antara pengusaha, sementara modal awal ditanggung koperasi.

“Jadi nanti koperasi yang bayarin langsung ke anggota,” ungkapnya lagi.

Tak berhenti di situ, Joko bersama warga juga memimpikan kampung yang tak pernah tidur itu menjadi destinasi wisata edukasi. Mereka ingin para pengunjung tak hanya mencicipi hasil produksi, tetapi juga menyaksikan langsung proses pembuatan lontong yang sudah menjadi napas kehidupan kampung.

“Kita mulai ada paket tur Kampung Lontong Surabaya. Bayar Rp15.000 sebagai kontribusi, lalu wisatawan akan kita ajak keliling melihat produksi sampai incip lontong,” tuturnya.

Pemkot Siap Nyalakan Bara Ekonomi Kampung Lontong Surabaya

Tampak depan salah satu rumah produksi lontong di Kampung Lontong Surabaya yang menyulap teras jadi dapur, Sabtu (13/9/2025). Foto: Meilita Elaine suarasurabaya.net

Mimpi yang disuarakan warga melalui Joko kini mulai menemukan jalannya. Pemerintah Kota Surabaya memberi sinyal kuat untuk ikut menjaga dan mengembangkan Kampung Lontong sebagai kampung energi sekaligus wisata kuliner edukatif.

Pemkot akan memantau distribusi gas bumi PGN ke rumah-rumah produksi agar suplai energi tetap lancar. Di saat yang sama, Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya memastikan dukungannya terhadap rencana menjadikan kampung itu destinasi wisata baru yang mampu menggerakkan ekonomi warga.

“Jadi insya Allah itu sudah kita canangkan seperti Kampung Kue yang ada di Rungkut. Nah, gasnya kita pastikan dia tetap lancar, dia tetap seperti itu. Nanti kita akan buat booth (tenant),” ungkapnya.

Eri berharap, ke depan akses bagi pembeli dan wisatawan menuju Kampung Lontong semakin terbuka lebar. Dengan begitu, para pengusaha tak perlu lagi keluar menjajakan dagangannya ke pasar, cukup menjual langsung dari rumah produksi mereka.

“(Juga akan) jadi paket wisata. targetnya semoga Desember 2025 ya,” tutupnya.

Mimpi itu kini bukan lagi sekadar wacana, melainkan bara kecil yang terus dijaga. Selama api di dapur-dapur rumah Kampung Lontong terus menyala, harapan mereka tak akan pernah padam. Dari daun pisang, beras, dan energi yang menghidupkan, warga Kupang Krajan menanak masa depan, bukan hanya untuk keluarga mereka, tetapi untuk sebuah kampung yang ingin terus berdiri dan berdaya. (lta/ham)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Rabu, 24 Desember 2025
26o
Kurs