
Badan Gizi Nasional (BGN) belum lama ini mengusulkan agar literasi gizi bisa masuk kurikulum sekolah. Namun, usulan itu ditolak oleh Abdul Mu’ti Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen).
Mengenai hal itu, Lailatul Muniroh Pakar Gizi Fakuktas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (UNAIR) mengatakan bahwa anak memang perlu dibekali ilmu tentang nutrisi gizi seimbang.
“Anak-anak perlu tahu apa yang mereka konsumsi dan alasan mengapa mereka harus makan makanan sehat. Selain itu, akibat yang didapat dari kekurangan zat gizi, baik mikro maupun makro,” katanya, Kamis (31/7/2025).
Menurut Lailatul, pendidikan mengenai gizi untuk anak, memang bukan program insidental, tapi menjadi sistem yang terstruktur dan terintegrasi ke dalam lintas mata pelajaran.
Dia menambahkan, literasi terkait gizi bisa hadir dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) melalui pembahasan makronutrien. Dalam Bahasa Indonesia-nya, melalui narasi literasi pangan, hingga dalam Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK) lewat proyek penyusunan menu sehat dan pengamatan kantin sekolah.
“Konsepnya adalah pendidikan kontekstual. Kita tidak ingin anak-anak sekadar tahu nama sayur, tetapi memahami mengapa mereka harus memilihnya,” tambahnya.
Selain itu, pendidikan gizi juga perlu dibingkai sebagai bentuk keterampilan hidup (life skill) yang mendekatkan anak pada kesadaran pangan dan gaya hidup preventif sejak bangku sekolah.
Lailatul mengatakan, untuk mewujudkan kurikulum berbasis gizi perlu sinergi antara sektor pendidikan, kesehatan, serta keluarga. Hal ini membutuhkan kesiapan guru, kurikulum kontekstual, hingga kebijakan yang adaptif terhadap kondisi lokal.
“Pendidikan gizi adalah investasi jangka panjang. Kalau kita abai hari ini, anak-anak akan membayar mahal di masa depan dalam bentuk stunting, penyakit metabolik, hingga produktivitas yang rendah,” tandasnya.(kir/bil/ham)