
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menegaskan bahwa sanksi penonaktikfan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan kepesertaan BPJS Kesehatan bagi pasien tuberkulosis (TBC) yang mangkir berobat, tujuan utamanya untuk melindungi kesehatan masyarakat dan mewujudkan Surabaya sebagai kota sehat.
Kebijakan yang sebelumnya disampaikan Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya, sebagai upaya mencegah penularan TBC di tengah masyarakat ini, diatur dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 117 Tahun 2024.
Nanik Sukristina Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Surabaya menjelaskan, tantangan besar dalam pengendalian TBC di Surabaya adalah masih adanya pasien yang berhenti berobat sebelum tuntas. Padahal, pengobatan TBC memerlukan waktu minimal enam bulan secara rutin.
“Ya mungkin karena bosan juga ya, setiap hari minum obat, gitu banyak gitu kan. Jadi mereka ada risiko untuk mangkir, akhirnya berhenti, itu yang kami khawatirkan. Mereka tidak meneruskan pengobatan,” kata Nanik saat mengisi program Semanggi Suroboyo di Radio Suara Surabaya, Jumat (2/5/2025) pagi, membahas sanksi pasien TBC yang mangkir dari berobat.
Nanik menyebut, saat ini estimasi jumlah kasus TBC di Surabaya mencapai 16.000 orang. Namun, baru sekitar 2.500 kasus yang berhasil ditemukan dan ditangani. Lima kecamatan dengan angka kasus tertinggi adalah Semampir, Tambaksari, Sawahan, Wonokromo, dan Kenjeran.
Ia menegaskan, penonaktifan NIK bukanlah tujuan utama. “Tujuan kita sebenarnya bukan penonaktifan ini. Tujuan kita supaya masyarakat penderitaan ini sehat. Dan kota Surabaya menjadi kota sehat. Tujuan utamanya adalah seperti itu,” tegas Nanik.
Senada, Eddy Christijanto Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya menegaskan, penonaktifan NIK merupakan langkah terakhir jika pendekatan persuasif tidak berhasil.
“Memang di Amanat Perwali 117 2024, memang disebutkan bahwa bagi mereka yang mangkir terhadap proses pengobatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan sampai sembuh, itu yang nanti akan kita lakukan non-aktifkan NIK-nya,” tegas Eddy.
Ia memastikan, sebelum sanksi dijatuhkan, petugas kesehatan akan lebih dulu mendatangi pasien hingga tiga kali untuk membujuk agar melanjutkan pengobatan.
“Artinya mulai deteksi awal sampai dengan proses pengobatan, bahkan ketika mereka menolak pertama pun, itu akan didatangi lagi yang kedua. Yang kedua menolak akan didatangi lagi sampai yang ketiga. Nah, kalau sudah yang ketiga ini mereka tidak bersedia, kita juga harus memikir kesehatan masyarakat secara keseluruhan,” ujarnya.
Eddy menekankan, penonaktifan NIK adalah upaya agar pasien kembali berobat demi kepentingan orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar.
“Tujuannya apa? Adalah supaya mereka mau untuk berobat. Karena saat ini ketika kita menderita sakit, jangan kita memikirkan diri kita sendiri. Tidak apa-apa, tidak usah mengelola saya. Butuh urusannya pemerintah. Sekitar Anda ini lho. Ada istri, ada anak-anak. Harus kita pikirkan juga,” kata Eddy.
Ia juga menegaskan, pengobatan TBC sepenuhnya gratis disediakan oleh Pemkot Surabaya, termasuk pendampingan dan motivasi agar pasien bisa sembuh total dan kembali beraktivitas dengan aman.
“Pemerintah bukan hanya itu, tapi menyiapkan pengobatan, menyiapkan langkah-langkah supaya memberikan kekuatan, memotivasi mereka supaya ada semangat untuk bisa hidup di tengah-tengah masyarakat. Dan juga yang lebih utama adalah mereka bisa beraktifitas, bisa bekerja tanpa harus merugikan tetangga atau teman-teman kerja yang ada di sekitarnya,” tandas Eddy. (bil/ipg)