
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berencana menggelar razia kos-kosan dengan target bukan pasangan suami istri (pasutri) yang tinggal selama sepekan kedepan.
Langkah ini diambil untuk menjaga ketertiban, sekaligus mengantisipasi kasus mutilasi di kawasan Lakarsantri yang melibatkan penghuni kos non-pasutri beberapa waktu lalu, terulang.
Achmad Zaini Kasatpol PP Kota Surabaya mengatakan, operasi yustisi di kos-kosan semacam ini sebenarnya sudah rutin dilakukan bersama sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, termasuk Dispendukcapil, DPMPTSP, hingga kelurahan dan kecamatan.
Tapi dalam yustisi ke depan, Pemkot Surabaya akan melibatkan unsur masyarakat. Ia menegaskan, penertiban kos-kosan tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah, melainkan harus melibatkan partisipasi warga.
Menurutnya, kebijakan tersebut sudah sesuai Perda 3 Tahun 1994 dan Perwali 79 Tahun 2018, pemilik kos wajib melaporkan keberadaan penghuni kepada RT/RW.
“Surabaya ini gak iso ditangani sendiri, harus bersama-sama. Informasi mata dan telinga dari seluruh warga Kota Surabaya khususnya pengurus RT, RW, KSA ini diperlukan untuk memberikan informasi kepada kita semua terkait adanya kos-kosan, adanya orang yang tinggal di kos-kosan harus melaporkan kepada RT dan RW,” jelasnya dalam program Semanggi Suroboyo di Radio Suara Surabaya, Jumat (19/9/2025).
Zaini menambahkan, razia kos-kosan tidak semata urusan moralitas, melainkan juga ketertiban administrasi kependudukan (adminduk). Setiap penghuni kos atau kontrakan yang berasal dari luar kota diwajibkan melapor 1×24 jam ke ketua RT setempat agar bisa didata dalam sistem penduduk non-permanen.
Terkait sanksi bagi pelanggaran, Zaini menegaskan ada beberapa langkah yang bisa ditempuh pemerintah. Mulai dari teguran lisan maupun tertulis, hingga pencabutan izin pengelolaan kos bila terbukti melanggar aturan.
“Ada dua sanksi yang pertama pada pemilik kos, ada tiga sanksi untuk pemilik kos. Yang pertama memberikan teguran baik itu lisan maupun tertulis. Kemudian yang kedua coba untuk memberhentikan atau menyekel tempat kos ketika mencabut izin pengelolaan kos tersebut,” terangnya.
Zaini menambahkan, sanksi sosial juga kerap muncul dari masyarakat ketika ada kos-kosan bermasalah. “Sanksi yang paling ekstrim adalah memang sanksi dari warga, bahwa di kos-kosan yang ada peristiwa itu biasanya orang mau kos di sana agak riskan,” ujarnya.
Pemkot berharap keterlibatan aktif masyarakat bisa membuat pengawasan lebih efektif. Karenanya, ia mengimbau untuk seluruh pemilik kos agar ikut serta berpartisipasi, tidak hanya menerima uang hasil sewa, tapi juga memenuhi kewajibannya.
Pemkot berharap keterlibatan aktif masyarakat bisa membuat pengawasan lebih efektif. “Kami menghimbau untuk keseluruhan pemilik kos agar ikut serta berpartisipasi, tidak hanya menerima hasil pemondokan berupa uang, tapi harus punya kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi,” tutup Zaini.
Pada kesempatan yang sama, Eddy Christijanto,Kepala Dispendukcapil Kota Surabaya menjelaskan, pendataan penghuni kos sudah menjadi bagian dari administrasi kependudukan, khususnya bagi penduduk non-permanen.
“Sejak tahun 2003 ya, kita menerapkan untuk melakukan pendataan administrasi kependudukan termasuk penduduk luar Kota Surabaya. Itu pun juga diatur di Permendagri 74 tahun 2022 tentang pendataan penduduk non-permanen,” ujar Eddy.
Ia menyebut, saat ini ada sekitar 41.726 penduduk non-permanen yang sudah tercatat. Namun, jumlah itu dinilainya masih jauh dari kondisi riil di lapangan. Karena itu, Pemkot sudah memberi akun kepada para ketua RT agar bisa melakukan pendataan langsung melalui sistem.
“Penduduk luar Kota Surabaya yang tinggal di suatu wilayah Kota Surabaya wajib melaporkan satu kali 24 jam kepada ketua RT. Setelah itu RT akan melakukan pengisian dengan sistem informasi teknologi yang sudah kita siapkan yaitu pendataan penduduk non-permanen,” jelas Eddy. (bil/ipg)