
Draf Rancangan Undang-undang (RUU) Haji yang tengah dibahas DPR RI mendapat sorotan tajam dari Ade Marfuddin Pengamat Haji.
Menurutnya, reformasi tata kelola Haji sudah menjadi kebutuhan mendesak, terutama menjelang pelaksanaan Haji 2025 dan transformasi besar yang sedang digalakkan Arab Saudi melalui Visi 2030.
“Badan Haji itu lahir dari proses panjang. Sudah lama masyarakat ingin agar tata kelola haji tidak lagi dimonopoli oleh Kementerian Agama. Maka, perlu fondasi hukum yang kuat agar Badan Haji ini benar-benar bisa bekerja maksimal,” kata Ade dalam Forum Legislasi membahas UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, di Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Dia menegaskan, meski UU Haji saat ini baru berlaku enam tahun sejak disahkan pada 2019, perkembangan di lapangan menuntut adanya adaptasi cepat.
Apalagi, Arab Saudi sudah lebih dulu melesat dengan sistem digital dan pelayanan berbasis visi jangka panjang.
“Haji hari ini bukan sekadar ibadah massal, tapi juga panggung global. Sebuah transformasi peradaban Islam. Kita bicara manajemen mega proyek yang sangat kompleks,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ade menyorot berbagai masalah teknis yang muncul di lapangan, mulai dari pemisahan jamaah suami istri karena nomor visa, hingga petugas haji yang belum kompeten menghadapi sistem digitalisasi Arab Saudi.
Dia juga mengkritisi sistem pengurusan visa dan paspor yang dianggap belum adaptif.
“Arab Saudi sudah wanti-wanti, jangan coba masuk tanpa dokumen resmi atau sistem digital. Kita malah masih pakai pendekatan lama. Akibatnya, jamaah bingung, bahkan ada yang dideportasi padahal sudah niat dan siap berangkat,” ujarnya.
Kemudian, Ade menyinggung masalah penukaran paspor dengan kartu identitas saat di Saudi. Menurutnya, hal itu seharusnya disiapkan dengan baik agar tidak menimbulkan kebingungan dan risiko kehilangan dokumen.
Terkait pembentukan Badan Haji, Ade menyarankan agar dilakukan harmonisasi menyeluruh antara BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) dengan badan pelaksana yang baru.
“Kalau bisa, BPKH masuk ke dalam Badan Haji sebagai satu pintu. Jangan banyak pos yang boros dana operasional,” tegasnya.
Selanjutnya, Ade menyoroti pentingnya pembinaan jamaah yang berkelanjutan. Menurutnya, manasik bukan hanya formalitas 10 atau 16 kali pertemuan.
“Pembinaan harus dimulai dua tahun sebelum keberangkatan. Kalau perlu, bikin sekolah manasik haji yang bisa jadi pusat konsultasi dan pembelajaran. Jangan hanya seremonial,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, dia mengungkapkan keprihatinannya terhadap kualitas petugas haji. Dari 12 ribu pembimbing yang ada, hanya sekitar 1.500 yang tersertifikasi oleh BNSP.
“Ini profesi, bukan sekadar jadi relawan. Harus ada kompetensi yang terstandar. Petugas juga jangan diganti tiap tahun, tapi dikontrak 3–4 tahun agar efisien dan profesional,” tegas Ade.
Lalu, Ade juga mengkritisi praktik Haji Furoda atau visa non-kuota yang marak dan dianggap menyesatkan masyarakat.
“Bayar Rp320 juta bisa langsung berangkat tanpa antre. Ini menyesatkan, apalagi kalau ternyata tak bisa masuk karena sistem Arab Saudi sudah sangat ketat dan digital. Undang-undang harus tegas melarang praktik ini,” katanya.
Dia berharap, pembahasan RUU Haji ke depan bisa mengakomodasi seluruh pembelajaran penting dari penyelenggaraan Haji tahun ini, agar jamaah tidak lagi menjadi korban sistem yang tidak adaptif.
“Kita harus visioner. Jangan sampai jamaah jadi korban lagi. Kalau tidak dibenahi sekarang, kita akan terus tertinggal,” pungkasnya.(faz/rid)