
Jusuf Kalla (JK) Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, menyatakan, banyak insinyur di Indonesia yang belum mendapatkan pekerjaan akibat ketidakpastian ekonomi global.
JK mencontohkan, satu lowongan insinyur yang dibuka perusahaannya, yang hanya membutuhkan 20 orang, tapi dilamar oleh 23 ribu insinyur.
Kondisi tersebut, menurut JK, dipicu oleh berbagai konflik dunia seperti perang di Eropa dan Timur Tengah, serta perang dagang antara Amerika dan China yang menurunkan harga komoditas andalan Indonesia.
Akibatnya, anggaran pembangunan infrastruktur pun menurun drastis, yang berpotensi menyebabkan kerusakan jalan dan melemahnya pembangunan daerah.
Ilham Akbar Habibie Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menyoroti rendahnya minat generasi muda terhadap profesi insinyur dan lebih memilih menjadi konten kreator seperti Youtuber. Padahal, insinyur memegang peran penting dalam membangun infrastruktur dan teknologi nasional.
Ia menilai banyak lulusan teknik bekerja di luar bidang rekayasa karena terbatasnya industri lokal dan kondisi pasar kerja yang kurang mendukung. Ilham juga menekankan perlunya perubahan pola pikir dan pengembangan industri nasional agar potensi keinsinyuran Indonesia tidak terus terabaikan.
Menanggapi situasi ini, Gentur Prihantono Ketua PII Wilayah Jawa Timur menekankan pentingnya regulasi dan pengakuan profesional bagi para insinyur, seperti halnya profesi dokter.
“Sebenarnya UU Insinyur itu lahir lebih dari sepuluh tahun lalu. Tahun 2014. Cuma masalahnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tentang insinyur baru lahir tahun 2019. Semestinya begitu UU lahir, dua tahun kemudian muncul PP terkait hal tersebut,” ujar Gentur dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (4/6/2025).
Ia menegaksan, seperti halnya dokter, insinyur adalah profesi. Jika dokter memiliki Ikatan Dokter Indonesia (IDI), PII telah mengajukan Dewan Insinyur. Hanya saja belum mencapai satu juta insinyur yang memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI).
Padahal di Jawa Timur saja terdapat sekitar 4.000 lulusan teknik setiap tahun, tetapi hanya sekitar 7.000 insinyur yang terdaftar dalam sepuluh tahun terakhir.
Jumlah ini jauh dari memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan nasional. Apalagi untuk proyek-proyek besar seperti di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang mewajibkan sertifikasi insinyur.
Gentur menyebut, minimnya proyek pembangunan dalam beberapa tahun terakhir membuat banyak insinyur enggan mengurus STRI.
Mereka yang sudah bekerja di sektor lain, seperti perbankan atau perusahaan swasta, merasa tidak perlu mengurusnya, meskipun masih menjalankan tugas-tugas teknik.
“Kalau seseorang mengerjakan proyek rekayasa tanpa STRI dan terjadi kecelakaan, bisa dikenai sanksi berat,” tegasnya.
Di Jawa Timur, saat ini terdapat delapan perguruan tinggi yang telah menyelenggarakan pendidikan profesi insinyur, antara lain ITS, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Jember, Universitas Widya Mandala, Universitas Kristen Petra, dan Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Sayangnya, regulasi di sektor industri juga belum ditegakkan secara merata. Banyak insinyur asing yang wajib mengurus izin praktik di Indonesia, namun insinyur lokal justru tidak diwajibkan mengikuti prosedur serupa. Hal ini menunjukkan ketimpangan dalam pelaksanaan kebijakan keinsinyuran nasional.
Gentur menegaskan bahwa gelar insinyur bukan hanya status akademik, tetapi simbol kompetensi dan tanggung jawab profesional.
Dengan memiliki STRI, seorang insinyur mendapatkan kepercayaan diri serta perlindungan hukum saat menjalankan pekerjaannya. (saf/ipg)