Senin, 8 September 2025

Unjuk Rasa Agustus Lalu Disorot PBB, Dosen HI Sarankan Pemerintah Respon Terbuka dan Tak Defensif

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Polisi menembakan gas air mata ke arah massa untuk membubarkan aksi bertajuk Aksi Solidaritas Darurat Kekerasan Aparat di Gedung Negara Grahadi, Jumat (29/8/2025). Foto: Wildan Pratama suarasurabaya.net

Dinamika yang terjadi dalam aksi unjuk rasa besar-besaran di Indonesia pada akhir “Agustus Kelabu” lalu, saat masyarakat turun menolak kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan gaji fantastis anggota DPR di tengah situasi ekonomi terkini, tak lepas dari pantauan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Bahkan, PBB lewat Ravina Shamdasani Juru Bicara Kantor Hak Asasi Manusia (HAM)-nya, telah mendesak Pemerintah RI melakukan penyelidikan secara menyeluruh mengenai cara aparat keamanan di Indonesia menangani gelombang demonstrasi beberapa waktu lalu.

Hal ini, mengingat beberapa peristiwa yang terjadi mulai meninggalnya seorang driver ojek online usai dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob, hingga penanganan aparat yang dinilai represif kepada demonstran.

Menurut Ravia, aparat keamanan harus menjunjung tinggi hak berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi, termasuk militer ketika dikerahkan dalam kapasitas penegakan hukum, harus mematuhi prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekuatan dan senjata api.

Demikian dengan awak media, harus diizinkan untuk melaporkan dan meliput peristiwa yang terjadi secara bebas, independen, dan tanpa intervensi dari penguasa.

Tapi, desakan dari PBB direspon sebaliknya oleh para pejabat Tanah Air. Contohnya, Natalius Pigai Menteri HAM RI yang menyebut permintaan PBB itu telat. Dia mengklaim pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai langkah cepat.

Selain itu ada Hasan Nasbi Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan yang juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, Prabowo Subianto Presiden RI sudah memberikan instruksi untuk menindak tegas aparat yang kelewat represif dalam demo akhir bulan lalu itu.

Terkait hal ini, Firsty Chintya L.P, Dosen Hubungan Internasional FISIBPOL UPN Veteran Jawa Timur (Jatim) pun turut buka suara. Menurutnya, pemerintah sebaiknya menanggapi sorotan PBB itu dengan terbuka, bukan defensif, sekaligus menjadikannya sebagai masukan positif.

“Respon dengan terbuka, bukan defensif. Terima memang sorotan PBB ini sebagai masukan positif. Nah, kemudian akui kalau memang ada korban jiwa gitu ya. Tadi kan pemerintah juga sudah menyoroti itu, dan ini sudah baik dilakukan. Kemudian yang bisa dilakukan adalah segera mungkin pemerintah ini membentuk investigasi independen,” ujarnya waktu mengudara dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (8/9/2025).

Dia mengatakan, tim investigasi independen itu juga harus melibatkan elemen-elemen mulai dari Komnas HAM, akademisi, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kredibel. Hasilnya, juga harus diungkap secara transparansi dan dipublikasikan secara resmi.

Menurutnya, langkah itu penting untuk mengembalikan kepercayaan publik yang turun ke jalan kemarin, mulai dari masyarakat sipil, ojol hingga buruh.

Sebaliknya, Firsty juga mengingatkan risiko jika pemerintah justru merespons sorotan PBB itu dengan sikap menutup diri, maka implikasinya akan terkesan negatif.

“Kalau kita defensif atau menutup diri, ada risiko. Yang pertama ada citra negatif. Muncul laporan tahunan HAM yang keras mungkin, kemudian indeks kebebasan berpendapat kita, hak asasi manusia kita, kita turun gitu. Yang kedua adalah tekanan diplomatik atau bahkan sanksi non ekonomi, misalnya pembatasan akses forum kita ke internasional. Kemudian nanti Indonesia tidak dipercaya ada pengawasan yang lebih ketat gitu,” tegasnya.

Sebaliknya, jika pemerintah transparan, hal itu justru bisa menjadi nilai tambah diplomatik. “Indonesia bisa menjadi contoh negara yang berani membuka diri, sekaligus meningkatkan kepercayaan mitra luar negeri,” ujarnya.

Terkait tuduhan penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat, Firsty menjelaskan bahwa ada indikasi PBB menilai adanya penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan tidak proporsional.

Dia menjelaskan, menurut standar HAM internasional, ada tahapan proporsionalitas: mulai dari tameng dan water cannon, lalu peluru karet atau gas air mata, hingga senjata api yang hanya boleh digunakan sebagai upaya terakhir (last resort).

“Nah, pertama kalau misalnya ternyata massa melempar batu ke aparat, maka proporsionalitasnya adalah pakai taming atau water cannon, bukan tembakan peluru tajam. Dua, misalnya jika massa membakar gedung atau mengancam warga di dalamnya, maka boleh aparat ini naik eskalasinya ke penggunaan peluru karet atau gas air mata,” jelasnya.

Demikian jika massa bersenjata tajam melakukan tindakan yang mengancam nyawa, maka menurutnya petugas dalam peraturan hak asasi manusia diperbolehkan menggunakan senjata api. “Tapi ini hanya bisa dibenarkan kalau ini adalah last resort atau upaya paling akhir,” jelasnya.

Sementara terkait catatan Pelanggaran HAM, Firsty menyebut jika mengacu pada kasus di Jakarta, memang ada kemunngkinan indikasi pelanggaran HAM dalam pengamanan aksi.

“Kalau Jakarta mungkin iya. Kita bisa melihat yang paling simpel adalah kasus meninggalnya Affan Kurniawan. Nah, itu yang menurut saya, mungkin menjadi kemudian pemantik PBB ini merespon,” ujarnya.

Namun, untuk di Surabaya, ia menilai belum ada indikasi yang kuat terkait pelanggaran HAM. “Kalau di saya tidak ya. Kalau untuk Surabaya,” tegasnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Senin, 8 September 2025
33o
Kurs