Senin, 17 Juni 2024
Al Haromain

Pentingnya Kearifan

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan

Oleh: Ayub Syafii

Kadang kala kesalahpahaman bisa dihilangkan apabila kita mau menanyakan masalahnya secara terus terang. Berkeras kepala dengan buruk sangka justru dapat menjebak manusia ke dalam kesalahan yang fatal.

Seorang ibu rumah tangga mengira suaminya telah menyeleweng dengan wanita lain gara-gara minyak wangi di baju sang suami berbeda baunya dari yang biasa. Ibu itu tersiksa berhari-hari lamanya sampai tidak enak makan dan tidak enak tidur. Padahal minyak wangi itu didapat suaminya dari seorang kiai ketika ia berkunjung kepada orang alim itu.

Jadi, siapakah yang menyiksa ibu itu? Apakah suaminya? Tentu saja bukan. Ibu itu justru disiksa oleh kecurigaanya sendiri.

Seorang Yahudi tua yang amat fanatik dan sangat memusuhi umat Islam jatuh sakit. Manakala ia merasa ajalnya sudah dekat, Yahudi itu berpesan kepada seluruh ahli warisnya bahwa semenjak saat itu ia menyatakan masuk Islam.

Anak-anak dan istrinya heran serta terkejut. Mengapa orang tua itu bahkan berikrar masuk Islam ketika sudah dekat saat-saat kematiannya? Pengaruh apakah yang membuat orang tua itu berbalik ingin menjadi Muslim setelah seumur hidupnya membenci Islam?

Maka mereka bertanya, “Mengapa ayah sejak saat ini menyatakan diri memeluk agama Islam?” Dalam sengal-sengal nafasnya, sang ayah menjawab, “Supaya yang mati nanti orang Islam, dan bukan Yahudi.”
Tentu saja banyolan yang pernah dikemukakan seorang Kiai ini bisa diambil sari maknanya, bahwa kefanatikan membuat acap kali menyebabkan manusia kehilangan akal warasnya.

Tidak demikian yang terjadi atas diri seorang kiai yang lain. Dalam suatu pertunjukan amal, kiai itu diundang dan ikut hadir menyaksikan beberapa pertunjukkan hiburan.

Tibalah gilirannya tiga orang penari menampilkan kebolehannya. Gadis-gadis yang amat cantik itu melengok-lengok di panggung dengan berbagai gerakan yang amat merangsang sehingga para penonton bersuit-suit dengan gemuruh.

Sesudah acara selesai, sang kiai ditanya oleh seorang wartawan, “Bagaimana pendapat Kiai mengenai tarian tadi?”
“Alhamdulillah, bagus sekali,” jawan sang kiai.
Wartawan itu keheranan. Dengan membelalakkan mata ia bertanya, “Berarti Pak Kiai menyetujui tarian pengundang maksiat itu?”
“Lho. Saudara bertanya setelah tarian itu selesai ataukah ketika para penarinya sedang berlenggang-lenggok di panggung?” kiai balik bertanya.
“Sesudah selesai.”
“Itulah maksud saya. Bagus sekali karena tarian itu sudah berakhir, bukan karena saya menyukai tarian itu,” ujar Pak Kiai dengan sungguh-sungguh.

“Kita ini kan hidup dalam dunia yang makin majemuk. Untuk menjawab sesuatu kita harus mampu memilih kata-kata yang tidak menyinggung golongan lain, tanpa kita sendiri kehilangan pendirian dan harga diri. Benar, bukan?

Dalam kesempatan lain kiai itu ditanya, “Bagaimanakah caranya bersembahyang di bulan?” Kearah manakah kiblatnya?”
“Pertanyaan Saudara keliru,” sahut Pak Kiai.
“Bukankah saya boleh bertanya masalah hukum agama, apalagi manusia sudah bisa menjelajah sampai ke bulan?” kata si penanya.
“Nah, itulah maksud saya.

Seharusnya Saudara bertanya: Bagaimana caranya supaya umat Islam bisa sholat di bulan? Saya akan menjawab, rebutlah ilmu pengetahuan. Tetapi, terhadap pertanyaan Saudara yang pertama tadi, saya akan menjawab apa, sedangkan yang telah berhasil menginjak di bulan bukan orang Islam?” (ipg)

Bagikan
Berita Terkait

Keberkahan Rumah Tangga Nabi SAW

Keteguhan Hati Nabi SAW

Berpuasa di Negeri Sunyi


..
Surabaya
Senin, 17 Juni 2024
31o
Kurs