Senin, 17 Juni 2024
Al Haromain

Zaman Akhir

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan

Oleh: Ayub Syafii

Kita masih ingat serangkaian foto sungkem yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan Ibu Tien ke haribaan ibundanya. Sangat berkesan.

Begitu juga yang dilakukan Presiden Pertama RI yang digemari banyak rakyat jelata melakukan sungkem di hadapannya ibundanya juga.

Sungkem, sikap setengah bersujud hampir di telapak kaki orang tua pada hari Lebaran, adalah momentum yang paling mengharukan dan penuh makna bagi anak dan orang tua. Pada saat itulah tertumpah segala macam gejolak rasa yang mengendap selama paling tidak satu tahun di dalam jiwa setiap anak dan orang tua.

Rasa itu sulit digambarkan karena bercampur antara penyesalan, tobat, harapan, rindu, ketakutan akan berpisah, terima kasih, dan berjuta macam lagi endapan rasa berbaut tak terbayangkan.

Melalui upacara sungkem, yang tidak saja dilakukan oleh anak terhadap orang tua, tetapi pula antara istri kepada suami, tiba-tiba segala beban yang menyekat antara anak dengan orang tua, antara suami dengan istri, seolah sirna begitu saja, lenyap tanpa sisa. Jadi apakah adat semacam ini masih relevan bagi zaman serba komputer ini?

Nyaris semua kalangan berpendapat sama bahwa tradisi sungkem justru harus dihidup-hidupkan. Apalagi pada masa manusia hampir senantiasa mengartikan hubungan antar sesama manusia, termasuk dengan orang tua, hanya melalui pelambang-pelambang yang bersifat bendawi, berupa hadiah-hadiah kemewahan dan materi, umpamanya.

Dengan sungkem, hubungan tersebut seakan lebih menghunjam ke dalam hati nurani. Seorang anak berkata kepada orang tuanya, melalui air mata yang bertumpah manakala sedang bersujud di ujung kaki mereka: “Ayah, Bunda, di telapak kakimu terletak surga. Dengan ridlomu saja Allah akan menurunkan ridlo-Nya kepadaku.”

Ingatlah Alqomah. Ia baru bisa mengucapkan kalimah tauhid menjelang ajalnya sesudah dimaafkan oleh ibunya. Ingatlah legenda cerita Malin Kundang. Ia menjadi batu karena durhaka kepada ibunya. Atau juga peristiwa yang mungkin terjadi saat ini seperti kisah berikut ini.

Mereka duduk terpaku di depan majelis. Ruangan terasa pengap. Bau keringat dan asap rokok berbaur, menyatu dengan detak jantung Sabur dan istrinya, Ita. Berbaju safari abu-abu, Sabur yang gagah dan simpatik dalam usia separuh baya itu tampak gelisah. Sementara istrinya yang mengenakan gaun biru berbunga-bunga merah dengan wajah sangat manis, sesekali menjatuhkan kepalanya ke pundah dengan lesu. Mereka seperti menahan rasa malu dan kehilangan harga diri.

Tentu saja. Sebab, dengan penampilan yang perlente dan serba apik, apalagi selakuk karyawan teras salah satu kantor imigrasi di Jawa Tengah, Sabur hari itu dihadapkan ke majelis Pengadilan Negeri Jakarta Barat sebagai terdakwa. Bukan akibat penggelapan atau penyelewengan yang akhir-akhir ini banyak terbongkar, melainkan perkara yang tidak biasa dan sulit dipercaya masyarakat awam, yaitu penganiyaan terhadap ibu kandungnya sendiri. Malahan jaksa penuntut umum menyebut-nyebut soal uang Rp.20.000,- segala sebagai pangkal penyebabnya.

Setelah jaksa membacakan tuntutannya, dan hakim lalu bertanya, Sabur dengan keras menyanggah, “Tidak benar Pak Hakim. Saya tidak menganiaya. Saya hanya melontarkan kata-kata.”
“Apa yang Saudara ucapan kepada ibu Haniah?” desak Pak Hakim.
“Saya, saya melemparkan uang dua puluh ribu rupiah, sambil berkata, ‘Tuh, makan uangnya. Mampuslah kamu.'”

Para pengunjung menggumam kesal seraya menatap tajam kearah Sabur dan istrinya.
“Kata-kata itukah yang Saudara lontarkan kepada Ibu Haniah?” desak hakim dengan suara lantang.
Dan seperti puluhan balon meletup, hadirin berseru marah dan mengutuk sampai hakim mengetuk palunya berkali-kali. Pengunjung diam. Akan tetapi, wajah mereka tidak diam. Menggerutu.

“Saudara terdakwa. Dulu Saudara lahir dari mana? Keluar sendiri di dunia ini?” tegur Pak Hakim dalam suara kian meninggi.
Hadirin mengangguk-angguk. Mereka mendukung teguran Pak Hakim yang menukik itu. Mungkin, kalau diizinkan, mereka akan berteriak serempak, “Setujuuu!” dengan bunyi u yang panjang seperti rangkaian gerbong kereta api Jakarta-Surabaya.

Sebab, sebagai pejabat, seharusnya Sabur memberi teladan, bagaimana cara berbakti kepada orang tua. Apalagi terhadap ibu, yang telah mengandungnya dengan susah payah selama berbulan-bulan.

Sejurus kemudian, sesudah mengambil ancang-ancang, Pak Hakim lalu meneruskan, “Bukankah Saudara termasuk orang terpandang? Seyogyanya Saudara mengenal tata krama. Mengapa Saudara lakukan itu?”

“Saya jengkel, Pak Hakim,” ujar Sabur gelapagan.
“Jengkel kepada ibu kandung sendiri?”
“Betul, Pak Hakim. Ibu saya meminta uang terus-terusan. Dan tidak pernah saya tolak. Padahal kebutuhan saya banyak sekali. Tetapi, ibu saya selalu merongrong rumah tangga saya. Akhirnya meledaklah kemarahan saya.

Dengan setengah menggeleng keheranan Hakim memotong, “Apakah tidak ada cara lain untuk menjelaskannya kepada ibu saudara? Mestikah dilampiaskan dengan kekerasan dan kekerasan?”

Pertanyaan Hakim lantas beralih kepada Ita, Istri Terdakwa. “Bagaimana pendapat Saudari?”
“Tidak benar,” ucap Ita menampik tuduhan jaksa. “Ibu mertua saya memang mengidap penyakit jiwa. Ia sering marah-marah tanpa juntrungan. Semuanya di acak-acak kalau sedang kambuh penyakitnya. Malah kaca jendela dilemparinya sampai pecah berantakan, Siapa tidak kesal, Pak Hakim?”

“Saudari ikut menganiaya Nyonya Haniah?” potong Hakim.
“Tidak. Hanya melawan dengan mulut.”
“Jangan bohong.”
“Tidak. Saya hanya mengancam akan mengadukan pertengkaran saya dengan Ibu kepada suami saya.”

Sayang, sebelum perkara itu tertangani hingga tuntas, hakim telah menjatuhkan palunya dan berkata, “Sidang ditunda hingga minggu depan untuk mendengarkan para saksi.”

Hadirin beranjak ke luar. Ny. Haniah berdiri cepat, lalu memburu ke tempat anak dan menantunya. Tiba-tiba keributan terjadi. Hadirin heboh. Petugas pun kalang kabut. Ny. Haniah menyergap Ita. Dan sembari menghentak-hentak, Ny. Haniah berteriak histeris. “Kutelanjangi kami. Sejak kecil Sabur kuberi makan, kuberi pakaian. Karena kamu dia durhaka kepadaku. Ayo, buka pakaianmu. Tukar baju itu.

“Sesaat kemudian, persis seperti sinetron, Ny. Haniah dan menantunya saling menjambak rambut dan tarik menarik pakaian masing-masing. Para pengunjung terkisap. Untuk pihak keamanan cukup sigap. Mereka dengan cepat turun tangan melerai perkelahian itu. Ny. Haniah tertatih-tatih dituntun ke musolla. Setelah lebih tenang, Ny. Haniah berdoa di sela sedu sedannya. “Ya Alloh, insafkan kedua anak saya itu, bahwa mereka sedang berhadapan dengan ibu kandung sendiri. Amin.”

Sabur lahir dan dibesarkan di Bukittinggi, Sumatera. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dalam keluarga Suwartono, sang ayah, dan Haniah, ibunya.

“Sabur memang anak yang cerdas,” tutur Ny. Haniah mengenang masa lalunya. “Ia tidak puas dengan keadaannya. Ia ingin sejajar dengan keluarga lain yang hidup berkecukupan. Maka ia terus bersekolah sampai tamat SMA, sementara saudara-saudaranya, paling tinggi menamatkan pendidikannya hingga SMP. Itu pun sudah untung karena suami saya meninggal menjelang Sabur berangkat dewasa.”

Dan sejak Suwartono tutup usia, Ny. Haniah harus bekerja keras merawat anak-anaknya. Jerih payahnya berbuah. Sabur berhasil meraih cita-citanya.

“Sabur berhati iba. Ia gampang terharu melihat kesusahan orang lain,” ucap Ny. Haniah dengan suara berdesis. Ada semacam kerinduan di matanya yang basah. Kerinduan terhadap masa lampau, yang pahit namun amat manis. Tentang anak kesayangannya, Sabur. “Saya tahu betul watak Sabur. Tidak mungkin dia tega menganiaya ibunya kalau tidak dipanas-panasi istrinya. Tapi, yah apa hendak dikata. Sabur telah berubah, sangat berubah. Biarlah pengadilan nanti yang memberikan pelajaran kepadanya, tentang cinta kasih seorang ibu disakiti.”

Hawa sedang gerah di Jakarta seminggu berikutnya. Pada hari itu, tidak seperti sidang terdahulu, pengunjung tidak meluber ke luar. Namun, di dalam ruangan, tidak satu kursi pun yang terlowong.
“Saksi Ny. Haniah, benarkah yang di bacakan Pak Jaksa?” tanya hakim tunggal yang bertugas hari itu kepada saksi merangkap korban, Ny. Haniah.

Wanita tua itu duduk di depan majelis dengan wajah berkesan tegar dalam usia senjanya. Ia memakai kebaya dan berkerudung panjang.
“Benar, Pak Hakim,” jawab yang ditanya. “Ia bersama istrinya, Ita, telah menyiksa saya, ibunya sendiri, yang telah melahirkannya, memberinya susu, dan merawatnya dengan susah payah. Ia anak kandung saya, tapi tega menganiaya saya,” rintih Ny. Haniah seraya air matanya menitik satu-satu.

“Benarkah Ny. Haniah ibu kandung Sabur?” tanya Hakim untuk menegaskan.
“Betul, Pak Hakim,” gumam Ny. Haniah.
Seolah mengumpulkan dulu tenaganya yang terserak-serak oleh kepiluan hatinya, Ny. Haniah menjawab tersendat-sendat.
“Saya yang sudah tua ini menghidupi diri saya dengan berdagang kecil-kecilan, yang hasilnya hanya pas-pasan. Saya tinggal bersama anak saya. Pada hari itu, karena kaca mata saya rusak dan saya tidak punya biaya untuk memperbaikinya, maka kepada siapa lagi saya harus minta uang kalau bukan kepada Sabur, anak saya? Memang permintaan saya itu dikabulkannya. Saya diberinya uang seratus ribu rupiah. Tetapi, caranya dengan melemparkannya ke muka saya sambil mengumpat: “Mampuslah kau! Matilah kau!”

Hadirin tertegun. Hakim dan jaksa penuntut umum mendengarkan dengan tekun. Terdakwa dan istrinya termangu.
“Bukan itu saja, Pak Hakim.” Ucap Ny. Haniah selanjutnya, “Waktu saya ajak berembuk soal keluarga di kampung, saya diseret ke kamar, tangan saya diikat dengan tali plastik. Kemudian Sabur dengan istrinya memukuli saya, menampar dan menggebuk punggung saya, juga rahang saya. Tentu saja saya hanya bisa menangis karena kedua tangan saya diikat sangat kuat. Setelah itu saya ditinggalkan dalam kamar selama tiga jam.
Pak Hakim bisa lihat hasil visum dr. Ruslandi, bagaimana keadaan saya. Untuk itu, saya mohon agar Sabur dijatuhi hukuman sesuai dengan perbuatannya. Dan saya tidak menyesal kalau ia dihukum.”

Pak Hakim mengerutkan kening. “Betulkah Ibu mengidap penyakit jiwa?”
“Bohong, Pak Hakim. Saya sehat jasmani dan rohani. Tuduhan menantu saya hanya fitnah belaka,” sanggah Ny. Haniah berapi-api.

“Apakah benar Ibu pernah memecahkan kaca jendela?”
‘Juga tidak benar, Pak Hakim,” suara Ny. Haniah tambah menanjak.
Dan suasana sidang juga tambah menanjak. Dan hari pun tambah menanjak. Tetapi, Hakim memukulkan palunya tiga kali seraya berseru, “Sidang kami undur dan akan dibuka kembali minggu depan.”

Vonis belum dijatuhkan. Keputusan masih tersimpan di dalam sidang-sidang yang akan datang lantaran masih banyak saksi yang harus didengar keterangannya. Tetapi, nun jauh di sana, di masa silam, seorang sahabat pernah mengadukan ibunya yang tajam lidah kepada Rasululloh.

“Apakah yang harus saya lakukan kepada ibu yang perkataannya selalu menyakitkan hati itu, ya Rasululloh?”

Rasululloh menjawab, “Seandainya ibumu itu merajang-rajang dagingmu pun, belum terbayar lunas seperempat haknya atas anak-anaknya. Tidakkah kamu tahu bahwa surga itu berada di telapak kaki ibu?”.(ipg)

Bagikan
Berita Terkait

Keberkahan Rumah Tangga Nabi SAW

Keteguhan Hati Nabi SAW

Berpuasa di Negeri Sunyi


..
Surabaya
Senin, 17 Juni 2024
31o
Kurs