Senin, 29 April 2024

LBH Jakarta Menuding Demokrasi Sudah Dikooptasi Penguasa

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi

Arief Maulana Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengatakan, demokrasi yang dijalankan hari ini sangat jauh dari kata ideal dan cenderung digunakan penguasa untuk mencapai tujuannya.

“Dalam sebuah negara demokrasi, kebebasan berpendapat juga berbicara dari rakyat sangat penting. Karena prinsip demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Dia berhak bicara agar kepentingannya didengar dan kebutuhannya dipenuhi oleh penguasa,” ujarnya di Jakartaz Jumat (1/12/2023).

Sejatinya, lanjut Arief, kebebasan berpendapat itu dijamin serta dilindungi sebagai pondasi dari demokrasi. Tapi, dia menilai kenyataan hari ini, sikap-sikap aparat, undang-ndang yang berlaku seperti UU ITE, UU KUHP justru membelenggu suara rakyat dan anti kritik.

“Jika kita membaca hasil dari Indikator Politik, 60-70 perseb masyarakat Indonesia takut untuk berpendapat. Tidak percaya pemerintah bisa menerima kritik. Wajar kalau indeks demokrasi di Indonesia terjun bebas,” imbuhnya.

Indikator, intimidasi dan tekanan diterima orang-orang yang kerap mengkritik pemerintah.

“Represi bukan hanya fisik, tetapi bisa juga lewat perundungan offline-online, akunnya bisa dibajak atau doxing. Lebih besar ancamannya. Itu jelas tidak sesuai dengan prinsip negara demokrasi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Arif menuding sekarang ini hukum justru dijadikan alat untuk melegitimasi praktik penyalahgunaan wewenang. Dia mencontohkan penggunaan aparat pemerintah seperti ASN, TNI-Polri, termasuk aparat desa beberapa waktu lalu dalam kampanye.

“Padahal, mereka tidak boleh ikut politik praktis, berkampanye. Ketika kemudian mereka dimanfaatkan untuk menabrak aturan, itu jelas penyalahgunaan wewenang, tidak sesuai prinsip demokrasi. Tidak fair,” timpalnya.

Sementara itu, Mabruri Gufron Direktur Imparsial menilai suasana kebatinan masyarakat tengah sensitif dengan isu demokrasi. Hal itu muncul ketika ada berbagai pelarangan yang menghambat kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara dan menyampaikan pendapat.

“Saya kira ini suasana kebatinan yang dirasakan oleh masyarakat sipil, misalnya ada kasus pelarangan diskusi, pencegahan beberapa orang yang ingin diskusi di kampus karena ada intervensi kekuasaan, kemudian beberapa kawan yang mengkritik pejabat publik dilaporkan ke polisi, bahkan ada yang menghadapi proses hukum,” paparnya.

Gufron menyoroti beberapa kasus yang terjadi seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang kini berhadapan dengan hukum dalam kasus dugaan pencemaran nama baik.

Bahkanz yang terbaru Melki Sedek Huang Ketua BEM UI juga dikabarkan menerima intimidassi akibat mengkritik Putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 90 tentang batasan usia capres-cawapres dalam Uji Materi UU Pemilu.

“Saya kira itu beberapa tanda yang dirasakan masyarakat dari menurunnya kebebasan sebagai cerminan dari demokrasi yang mengalami regresi,” tambah Gufron.

Berbagai kejadian itu juga dinilai menjadi potret yang secara induktif menggambarkan situasi umum hari ini. Kebebasan di ruang publik untuk kritis, berekspresi, berorganisasi, berdiskusi itu menghadapi dinamika politik elite yang anti terhadap kebebasan.

Gufron melanjutkan, kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran serius, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Menurutnya, kemunduran demokrasi Indonesia semakin nyata saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 90 terkait batas usia capres dan cawapres yang dinilai melanggengkan politik dinasti.

“Demokrasi Indonesia mengalami de-konsolidasi, regresi. Indikatornya banyak. Puncak dari kemunduran itu salah satunya ditandai dengan politik dinasti yang dimuluskan lewat Putusan MK No.90,” tegasnya.

Bahkan jauh sebelum Putusan MK muncul, publik juga sudah dihantui ketakutan untuk berbicara kritis di ruang publik.

“Sebelumnya kan sudah banyak yang secara kritis menyoroti situasi kebebasan di ruang publik yang menurun. Orang takut untuk bicara, menyuarakan pandangan kritisnya ke pemerintah, presiden, DPR, dan elite politik. Beberapa di antaranya ada yang dilaporkan ke polisi, dikriminalisasi,” kata Gufron.

Karena itu, dia menyayangkan penguasa saat ini yang muncul dari mekanisme demokrasi justru menyerang demokrasi.

“Padahal mereka misalnya presiden, elite politik lain yang duduk dalam kekuasaan kan mereka muncul dari mekanisme politik demokrasi. Tapi, justru mereka menjadi aktor yang menyerang demokrasi, kebebasan. Tentu itu menjadi sebuah ironi,” pungkasnya.

Terkait politik dinasti, Herman Khaeron Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (BPOKK) Partai Demokrat mengaku partainya tidak resah.

Menurut Herman, dalam kontestasi politik yang mulai memanas, saling serang menyerang itu hal yang wajar. Demokrat, kata dia, berusaha untuk bertahan dari segala serangan yang dialamatkan kepada pasangan Prabowo-Gibran.

“Kami berupaya untuk defense, mempertahankan argumentasi dan saya kira rakyat sudah sangat mengerti dan kami yakin betul bahwa rakyat sudah mengerti,” ujarnya beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Dia memandang serangan itu justru menguntungkan pihak Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.(rid/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Senin, 29 April 2024
26o
Kurs