Senin, 29 April 2024

Yusril: Bukan Cuma Kemerdekaan, Pemerintah Belanda Juga Harus Mengakui Kedaulatan RI

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Yusril Ihza pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Hukum dan HAM Foto: Antara

Yusril Ihza Mahendra Pakar Hukum Tata Negara menyebut pernyataan Mark Rutte Perdana Menteri (PM) Belanda negaranya mengakui kemerdekaan RI tanpa syarat tanggal 17 Agustus 1945, masih menyisakan banyak pertanyaan.

Karena itu, dia meminta Rakyat Indonesia jangan bergembira dulu. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga harus ekstra hati-hati menyikapi perkembangan baru di Belanda, dan sepatutnya memberikan masukan yang benar kepada Presiden RI.

“Pengakuan yang dikemukakan PM Belanda itu memang harus diperjelas, apakah sekadar mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, atau juga berarti mengakui kemerdekaan dan sekaligus kedaulatan Negara RI sejak tanggal 17 Agustus 1945,” kata Yusril dalam keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Jumat (16/6/2023).

MMenteri Sekretaris Negara Indonesia ke-13 itu juga mengungkapkan, fakta sejarah yang tidak dapat disangkal yaitu Belanda baru menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember 1949.

Sementara, pihak Indonesia juga mengakui hal itu karena penyerahan kedaulatan bukan kehendak Belanda semata, tapi juga keinginan Indonesia yang dicapai melalui kesepakatan yang dituangkan dalam Roem-Roijen Statement, tanggal 7 Mei 1949.

Waktu itu, Jan Herman van Roijen Menlu Belanda dan Mohamad Roem Ketua Delegasi Perunding Indonesia menyepakati kedua pihak (Indonesa dan Belanda) segera mengakhiri konflik. Kemudian, kedua pihak bersama-sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) di Belanda, dengan menyerahkan kedaulatan atas Hindia Belanda kepada RIS.

“Dengan diserahkannya kedaulatan kepada RIS, maka Indonesia akan diterima sebagai anggota baru Perserikatan Bangsa-bangsa. Dengan demikian, kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia diakui dunia internasional,” kata Yusril.

Sementara, isi Roem-Roijen dengan jelas menggambarkan kalau penyerahan kedaulatan disepakati kedua pihak (Indonesia dan Belanda) dilakukan melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB), di Wassenar, Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.

“Jadi, kalau pernyataan PM Mark Rutte dikaitkan dengan KMB, maka itu hanya berarti Belanda mengakui kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, tetapi belum mengakui RI sebagai negara berdaulat. Karena kedaulatan baru diserahkan Belanda tanggal 27 Desember 1949,” paparnya.

Yusril melanjutkan, dari sudut pandang Belanda, antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, Indonesia memang sudah merdeka, tapi belum berdaulat.

“Kedaulatan ada di tangan siapa? Masih di tangan Belanda karena belum diserahkan. Mengakui kemerdekaan dengan mengakui kedaulatan, dalam perspektif Belanda adalah dua hal yang berbeda,” kata dia.

Kalau kedaulatan Belanda atas wilayah Hindia Belanda masih ada sampai 27 Desember 1949, maka Belanda bisa cuci tangan dari jatuhnya korban akibat penyerangan dan pembantaian massal seperti yang dilakukan Westerling.

“Maka, benarlah dalih Belanda selama ini, mereka tidak pernah melakukan dua kali Agresi Militer ke wilayah Indonesia tetapi hanya melakukan aksi polisionil (aksi meredam kekacauan) di wilayah Hindia Belanda yang kedaulalatannya masih ada di tangan mereka,” ungkapnya.

Yusril yang juga pernah menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) menyebut konsekuensi Belanda cukup serius kalau memang mengakui kedaulatan Indonesia sejak 17 Agustus 1945.

Dalam artian, semua penyerangan, bahkan pembunuhan massal yang dilakukan sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 adalah keajahatan perang (war crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity).

“Untuk itu, Belanda harus bertanggungjawab dan dapat dituntut di Mahkamah Pidana Internasional sebagai penjahat perang dan sekaligus pelaku kejahatan HAM yang berat,” tegasnya.

Tapi, kalau tidak mengakui kedaulatan sampai 27 Desember 1949, maka pengakuan Mark Rutte itu tidak lebih daripada basa-basi yang tidak banyak gunanya bagi Bangsa Indonesia.

“Belanda bahkan akan menjadi bahan tertawaan dunia internasional karena mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Jadi, pengakuan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang dikemukakan PM Mark Rutte itu hanyalah untuk kepentingan Belanda sendiri. Tidak jelas apa manfaatnya bagi bangsa Indonesia,” ucapnya.

Pemerintah Indonesia, demi menjaga hubungan baik dengan Belanda, selama ini tidak mau mempersoalkan kejahatan Belanda di masa penjajahan, mau pun dalam kurun waktu antara tahun 1945-1949.

Namun, sambung Yusril, rakyat yang menjadi korban pembunuhan dan pembantaian (termasuk ahli warisnya) dapat saja mengajukan gugatan di pengadilan atas perbuatan tentara Belanda tersebut. Sebagian, untuk kasus di Jawa Barat dan Sulawesi bahkan telah dikabulkan oleh pengadilan di negeri Belanda sendiri.

“Bagi bangsa kita, pengakuan atas kemerdekaan RI sejak 17 Agustus 1945, harus sekaligus mengakui kedaulatan Negara RI sejak tanggal tersebut. Kalau itu yang dilakukan Belanda, baru pengakuan PM Mark Rutte itu ada artinya bagi Bangsa Indonesia. Raja Belanda sekarang sudah seharusnya mengajukan permohonan maaf dan penyelesalan atas apa yang telah dilakukan oleh nenek-moyang mereka,” tegasnya.

Lebih dari itu, kata Yusril, Bangsa Belanda juga harus menyadari dan menyesali kesalahan masa lalu mereka.

“Jangan seperti sekarang, selalu merasa ‘besar kepala’ seolah-olah mereka adalah pembela HAM dan selalu menyalahkan bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia yang sempat mereka jajah dalam kurun waktu yang sangat lama,” pungkasnya.(bil/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Senin, 29 April 2024
27o
Kurs