Selasa, 19 Agustus 2025

Ketua Tim 13 Asosiasi Haji-Umrah: Revisi UU Jangan Ganggu Ekosistem Ekonomi Umat

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Muhammad Firman Taufik Ketua Tim 13 Asosiasi Haji dan Umrah dalam Forum Legislasi di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (19/8/2025). Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

M. Firman Taufik Ketua Tim 13 Asosiasi Penyelenggara Haji dan Umrah menyampaikan hal penting terkait Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Menurutnya, revisi tersebut harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem ekonomi umat yang selama ini menopang industri haji dan umrah nasional.

Dalam Forum Legislasi yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Firman menekankan bahwa ekosistem ini telah terbentuk sejak era sebelum kemerdekaan.

Ia menuturkan, penyelenggaraan ibadah haji dan umrah awalnya dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, serta oleh para tokoh pesantren.

“Dari sejarah panjang inilah terbentuk jaringan yang kini berkembang menjadi industri besar, yang menggerakkan berbagai sektor ekonomi masyarakat,” ungkap Firman, Selasa (19/8/2025).

Ia menjelaskan bahwa industri haji dan umrah kini melibatkan banyak sektor, mulai dari UMKM, jasa konveksi, katering, transportasi, hingga akomodasi. Saat pandemi Covid-19 melanda, sektor ini sempat lumpuh. Namun setelah umrah dibuka kembali, kebangkitan ekonomi mulai terlihat, menjadi bukti peran vital industri ini bagi masyarakat.

“Industri ini bukan hanya soal ibadah, tapi juga soal perputaran ekonomi. Jangan sampai revisi UU justru mengganggu sistem yang sudah berjalan baik,” ujarnya.

Firman juga menekankan pentingnya menjaga ekosistem yang mencakup regulator, operator, penyedia layanan, serta para jemaah sebagai pengguna.

Menurutnya, undang-undang seharusnya hadir untuk memberi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan, bukan mematikan inisiatif yang sudah tumbuh mandiri di masyarakat.

Dalam forum tersebut, ia juga menyoroti perbedaan antara haji reguler dan haji khusus. Haji reguler dikelola penuh oleh pemerintah dengan kuota 92 persen dan mendapat subsidi. Sementara itu, haji khusus dikelola oleh lebih dari 940 penyelenggara swasta, tanpa subsidi, dan hanya mendapat 8 persen kuota.

“Haji khusus memiliki dinamika tersendiri. Variasi program dan fleksibilitas pelayanan menjadi kekuatannya. Ini juga harus dilindungi dalam revisi nanti,” ujar Firman.

Lebih lanjut, ia mengulas perbedaan antara UU No. 13 Tahun 2008 dan UU No. 8 Tahun 2019, yang mencakup sejumlah perubahan signifikan seperti peningkatan pengawasan, akreditasi penyelenggara, dan perlindungan hukum bagi jemaah.

“Sebelum merevisi kembali, kita perlu jelas dulu, apa tujuannya? Apa urgensinya? Jangan hanya karena perubahan regulasi luar negeri, kita justru mengorbankan sistem yang sudah mapan di dalam negeri,” tegasnya.

Firman menyoroti empat isu utama yang perlu menjadi perhatian dalam revisi yakni digitalisasi layanan, perubahan perilaku konsumen, kebijakan baru dari Pemerintah Arab Saudi, serta sinkronisasi dengan regulasi nasional.

Dia juga menegaskan perlunya transparansi dalam seluruh proses penyelenggaraan, pembiayaan, dan pelayanan ibadah. Tujuannya adalah menjaga kepercayaan masyarakat sekaligus memastikan keberlanjutan ekosistem ekonomi umat.

“UU ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Jangan sampai revisi yang tidak matang justru merugikan umat dan membunuh sektor-sektor yang telah lama menopang ekonomi nasional,” tutup Firman. (faz/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Selasa, 19 Agustus 2025
28o
Kurs