Rabu, 30 April 2025

Komisi II DPR RI Sorot Politik Uang dalam Perbaikan Sistem Pemilu Indonesia

Laporan oleh M. Hamim Arifin
Bagikan
Dede Yusuf Wakil Ketua Komisi II DPR RI usai memimpin rapat kerja dengan lembaga penyelenggara pemilu dan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2/2025). Foto: Antara

Dede Yusuf Wakil Ketua Komisi II DPR RI mengatakan, rumusan revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum perlu memberikan perhatian kepada masalah politik uang, selain persoalan teknis dalam perbaikan sistem kepemiluan di tanah air.

“Kami harus melakukan revisi Undang-Undang Pemilu bukan hanya pada sistem metode penghitungannya, bukan hanya masalah per dapil (daerah pemilihan), bukan hanya masalah threshold atau lain-lainnya, tetapi juga masalah-masalah lain, seperti money politics-nya,” kata Dede, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).

Hal itu disampaikan Dede Yusuf saat memimpin jalannya rapat dengar pendapat umum bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu untuk revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.

Dede melanjutkan, di sejumlah wilayah terjadi hal-hal transaksional demi memenangkan pesta demokrasi.

Cost of money-nya kami menganggap itu semakin lama semakin membesar,” ucapnya dikutip dari Antara, Rabu (5/3/2025).

Bahkan, pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2024 yang baru saja dilaksanakan menjadi preseden terburuk dari jalannya pemilihan umum secara langsung di tanah air.

“Karena hampir semua mengatakan pemilu kemarin adalah pemilu yang paling brutal dan paling transaksional,” ucapnya.

Senada dengan Dede, Edi Oloan Pasaribu Anggota Komisi II DPR RI mengatakan, ada dua isu besar yang perlu mendapatkan perhatian dalam merevisi undang-undang kepemiluan, yakni politik uang dan netralitas.

“Untuk money politics dan netralitas, bagaimanapun sistemnya kita bangun, kita bentuk, itu tidak akan terjadi perubahan yang radikal kalau tidak ada perubahan perilakunya,” katanya.

Dia memandang desain sistem pemilu sebaik apa pun pada akhirnya akan menjadi percuma sebab bergantung pada perilaku penyelenggara pemilu hingga peserta pemilu itu sendiri.

“Karena saya percaya betul peribahasa yang bilang the right system will produce the right result, sistem yang baik (akan) menghasilkan hasil yang baik, tetapi kalau yang menjalankan sistemnya juga enggak baik, susah ini. Jadi, kita lahir dari rahim demokrasi yang brutal (Pemilu) 2024, kita sepakat, karena diskusi juga gini kalau kita tidak stop, money politics akan ada namanya istilah saya sebut inflasi demokrasi, 2029 semakin besar nanti,” paparnya.

Di forum yang sama, Deddy Sitorus Anggota Komisi II DPR RI menyorot aspek moralitas lembaga penyelenggara pemilu.

Dia menekankan pentingnya perbaikan perilaku penyelenggara dan pengawas pemilu yang disebutnya sebagai faktor internal, di atas pembenahan sistem kepemiluan di tanah.

“Ketika penyelenggara dan pengawas yang menjadi bagian dari kerusakan itu, gimana sih ngatasin itu, kalau kita mau bicara memperbaiki pemilu? Karena tidak ada sistem pemilu apa pun yang bisa dikatakan sempurna bahkan mendekati sempurna, tidak akan ada,” kata Deddy.

Selain faktor internal, dia mencatat pentingnya memberi perhatian terhadap faktor eksternal dalam memperbaiki sistem kepemiluan di tanah air, yakni “cawe-cawe” kekuasaan demi memenangkan kontestasi.

“Jadi, akan menjadi sangat sia-sia kita berbicara berbagai macam skenario pemilu, skenario perbaikan partai politik, penyelenggara pemilu, kalau pemilu itu sendiri sangat rentan terhadap kekuasaan, terhadap institusi-institusi yang memiliki kekuatan untuk menekan, mempengaruhi hasil, memanipulasi, dan sebagainya,” tegasnya. (ant/nis/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Avanza Terbalik Usai Tabrak 2 Mobil Parkir

Mobil Terbakar Habis di KM 750 Tol Sidoarjo arah Waru

Kecelakaan Dua Truk di KM 751.400 Tol Sidoarjo arah Waru

BMW Tabrak Tiga Motor, Dua Tewas

Surabaya
Rabu, 30 April 2025
28o
Kurs