Selasa, 19 Agustus 2025

Komnas Haji: Regulasi Haji Perlu Realistis, Tidak Hanya Fokus Dalam Negeri

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dalam Forum Legislasi di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (19/8/2025). Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji menilai revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah merupakan langkah yang tidak terhindarkan.

Ia menekankan pentingnya regulasi yang adaptif terhadap dinamika internasional, terutama kebijakan pemerintah Arab Saudi sebagai negara penyelenggara utama ibadah haji.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam Forum Legislasi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa (19/8/2025).

Mustolih menyoroti sejumlah perubahan signifikan yang mendasari perlunya revisi UU, termasuk reformasi sistem haji di Arab Saudi, dampak pandemi, pembentukan Badan Pengelola (BP) Haji oleh Prabowo Presiden, hingga penerapan teknologi digital seperti aplikasi Nusuk.

“UU Haji kita masih muda, baru enam tahun, tapi sudah banyak aspek yang tak lagi relevan. Kita harus menyesuaikan dengan dinamika global,” ujar Mustolih.

Dalam pembahasan draft revisi, Mustolih mengapresiasi adanya ketentuan terkait hak jemaah untuk mendapatkan kompensasi jika layanan seperti konsumsi, transportasi, atau akomodasi tidak terpenuhi.

“Karena seluruh biaya haji ditanggung oleh jemaah, negara wajib memastikan jaminan layanan, termasuk skema ganti rugi jika hak mereka tidak dipenuhi,” tegasnya.

Namun ia mengingatkan agar revisi UU tidak hanya berorientasi pada aspek domestik. Menurutnya, 90 persen kegiatan haji berlangsung di Arab Saudi, sehingga aturan yang terlalu “Indonesia-sentris” justru bisa kontraproduktif.

“Kalau UU-nya kaku, sementara aturan Saudi sering berubah, bisa-bisa penyelenggara kita terjebak masalah hukum di kemudian hari,” kata Mustolih.

Terkait perluasan kewenangan DPR dalam menentukan kuota haji, Mustolih menggarisbawahi bahwa hal tersebut memiliki potensi positif dalam pengawasan, namun juga bisa memperlambat proses administrasi.

“DPR bisa membantu cegah penyalahgunaan, tapi jangan sampai birokrasi jadi makin berbelit. Terlebih jika proses revisi berlangsung saat reses atau masa politik seperti pemilu,” jelasnya.

Ia juga menyoroti ketentuan kuota haji khusus yang ditetapkan 8 persen secara mutlak. Menurutnya, ketentuan itu sebaiknya menggunakan istilah “minimal” agar bisa menampung kuota tambahan yang tidak terserap oleh jemaah reguler.

“Jangan sampai kuota sisa mubazir hanya karena regulasinya terlalu kaku. PHK lebih siap menyerap tambahan kuota secara cepat,” paparnya.

Mustolih juga menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi jemaah haji furoda, jemaah yang berangkat menggunakan visa undangan langsung dari pemerintah Arab Saudi. Ia menyebut banyak kasus kegagalan keberangkatan bukan akibat kelalaian biro travel, tetapi perubahan kebijakan visa oleh otoritas Saudi.

“Harus ada aturan perlindungan. Jangan dibiarkan tanpa kejelasan hukum,” ujarnya.

Sementara itu, untuk pelaksanaan umrah, Mustolih mengusulkan pembatasan terhadap konsep umrah mandiri. Menurutnya, jika dibuka secara bebas, berisiko besar bagi jemaah yang kurang memahami medan dan proses di Tanah Suci.

“Kalau ada yang tersesat atau mengalami masalah di sana, siapa yang akan tanggung jawab?” pungkasnya. (faz/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Selasa, 19 Agustus 2025
28o
Kurs