Rabu, 24 April 2024

Mbah Nun: WaliRaja RajaWali Adalah Teater Doa dan Harapan untuk Indonesia

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Suasana acara pementasan drama kolosal WaliRaja RajaWali yang diadakan di area lapangan tugu pahlawan Surabaya, pada Jumat (23/9/2022). Foto: Risky suarasurabaya.net

Emha Ainun Nadjib atau yang biasa dikenal dengan Mbah Nun, penulis naskah teater WaliRaja RajaWali, dalam pembukaannya mengatakan bahwa pementasan ini adalah doa dan harapan untuk bangsa Indonesia.

“Ini merupakan hasil perenungan doa dan harapan untuk masa depan Indonesia. Sumbangsih Maiyah kepada masa depan bangsa Indonesia yang menyangkut seluruh aspek kehidupan politik ekonomi kebudayaan dan seterusnya,” ucapnya.

Drama kolosal yang dimulai sejak pukul 19.30 WIB ini, bercerita tentang bangsa Nusantara dan kepemimpinan. Cerita yang ditampilkan memberi pemahaman akan pentingnya nilai, seiring dengan adanya degradasi nilai di Indonesia.

Selain itu, juga mengajak masyarakat untuk mengetahui pemimpin seperti apa yang sedang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini.

Mbah Nun juga menjelaskan bahwa WaliRaja bukan RajaWali, merupakan prinsip kepemimpinan dan menejemen kehidupan manusia yang berasal dari khazanah kebrahmanaan atau jagat rohaniah.

“Dengan bahasa yang lebih domestik, bisa disebut Brahmana-Raja, suatu tipologi kepribadian pemimpin yang diperlukan oleh hari esok bangsa Indonesia,” imbuhnya.

Salah satu pemain teater Bangbang Wetan di Tugu Pahlawan Surabaya pada Jumat (23/9/2022). Foto: Humas Bangbang Wetan

Istilah Brahmana yang juga berhubungan dengan Satriya, Sudra dan Pariya, menurutnya bukan dalam arti kasta. Melainkan, bahasa yang dipinjam untuk menjelaskan fokus tujuan hidup manusia. Yakni, Brahmana berarti manusia dengan konsentrasi nilai-nilai ketuhanan, kerohanian kebijaksanaan, dan keindahan. Tidak menolak materialisme tapi tidak mengutamakannya.

Sedangkan, Sudra dan Pariya bedanya terletak pada penempatan posisi primer-sekunder antara ketuhanan dan keduniawian, dan antara kerohanian dengan materialisme. Pariya terpaksa menyembah keduniaan karena tidak punya pilihan, Sudra menomorsatukan materialisme karena ambisi dan kerakusan.

“Pemimpin Indonesia sebaiknya manusia yang berjiwa Brahmana tapi bertugas sebagai Satriya. Jangan sampai pemimpin Indonesia adalah orang yang duduk di kursi Satriya tapi berjiwa Sudra dan bermental Pariya,” ucapnya.

Sebagai diketahui, teater ini merupakan bagian kedua dari trilogi lakon teater perdikan Yogyakarta. Yang pertama, berjudul Mlungsungi, dan yang ketiga akan segera ditentukan judulnya.

Acara yang digelar hingga pukul 00.00 WIB lebih ini, dihadiri oleh ribuan penonton, dan setelah teater selesai ditampilkan, dilanjut dengan launcing hari jadi Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unair ke-50 dan sinau bareng atau Maiyahan bersama.(ris/des/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Rabu, 24 April 2024
26o
Kurs