Psikiater mengungkapkan bahwa maraknya kasus bullying atau perundungan anak masih banyak belum dipahami orang tua.
Dr. dr. Yunias Setiawati SpKJ (K) Psikiater anak dan remaja RSUD Dr Soetomo menyebut, bullying adalah segala tindak kekerasan fisik, mental, emosional, sosial pada orang yang dianggap lemah.
“Biasanya dilakukan oleh sekelompok orang pada korbannya. Sehingga menimbulkan stresor,” jelas dosen Ilmu Kesehatan Jiwa FK Unair pada Selasa (2/10/2023).
Fenomena bullying yang semakin marak terjadi terutama di sekolah, sambung Yunias, perlu dukungan dan respons dari orang terdekat korban.
Sayangnya, masih banyak orang tua maupun guru kurang memahami serius dengan merespons ala kadarnya.
“Kalau terus menerus lapor orang tua, orang tua dan guru responsnya (cuma), ‘nggak papa, gak usah dipikir‘. Akhirnya penyebab stresnya tambah berat. Tidak ada dukungan teman, guru, dan orang tua. Tidak diperhatikan. Akhirnya timbul depresi,” terangnya.
Apalagi, melumrahkan keluhan anak-anak korban bullying sebagai hal wajar. Sikap ini menurut Yunias, membuat fenomena bullying seolah gunung es yang bisa mencair kapanpun.
“Seperti fenomena gunung es. Biasanya mereka juga tidak paham harus ke mana, minta pertolongan ke siapa, bahkan banyak orang tua dan sejawat lain menganggap gangguan jiwa (itu) Tidak ada. Katanya (gangguan jiwa hanya karena) kurang doa. Itu karena stigma. Banyak seperti itu (melumrahkan). Karena anak-anak sudah tidak apa-apa,” tambahnya.
Bullying di kalangan keluarga, sambungnya, juga banyak terjadi. “Misal (orang tua bilang) kakakmu juara, secara emosional kan juga terganggu,” imbuhnya.
Pencegahan perundungan bisa dilakukan dari lingkungan terkecil, dalam hal keluarga inti. Disusul teman-teman dan masyarakat. Lingkungan ini harus peka terhadap perubahan anak sedini mungkin.
“Biasanya (korban bullying yang sadar usia) SMP. Kalau anak SD belum paham. Malah dia (bersikap seperti) menolak sekolah, sering sakit, melawan orang tua. Anak kecil kan belum bisa mengekspresikan perasaannya,” tuturnya.
Jika dibiarkan, anak yang jadi korban sejak kecil akan memendam hingga dewasa dan merusak mental mereka.
“Akhir-akhir ini banyak kasus depresi, tidak bisa tidur. Seperti fenomena gunung es. Setelah ditanya ternyata di-bully temannya sejak SD. Orang tua tidak percaya, ditahan-tahan sampai SMP, bahkan sampai SMA. Bahkan ada yang ingin menghilang. Istilahnya ini menghilang, karena merasa merepotkan orang banyak dan tidak bermanfaat,” bebernya.
Yunias berpesan pada orang tua, untuk juga belajar mendidik anak sesuai usia. Termasuk menjalin komunikasi yang baik.
“Intinya tentang komunikasi. Target orang tua jangan terlalu tinggi. Mendidik anak itu disesuaikan dengan usianya,” pesannya. (lta/saf/ipg)