
Fenomena silent quitting atau pengunduran diri secara diam-diam dalam dunia kerja, disebut Dr Fajrianthi Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair) dipengaruhi banyak faktor.
“Silent quitting adalah reaksi terhadap berbagai stresor di tempat kerja, seperti ketidakpuasan kerja, ketidakseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan, burnout, serta kepemimpinan yang buruk,” terang Fajrianthi, Minggu (4/5/2025).
Dia mengatakan, fenomena ini muncul saat karyawan merasa tidak mendapat dukungan, tidak terhubung dengan organisasi, atau berada dalam lingkungan kerja bertekanan tinggi.
Kurangnya keterlibatan emosional, kata Fajrianthi, dinilai dapat mendorong perilaku ini.
Selain itu, dari segi psikologis, silent quitting disebabkan oleh burnout akibat stres kerja berkepanjangan, ketidakpuasan kerja karena kurang pengakuan, serta budaya organisasi yang toksik.
“Dalam beberapa jurnal penelitian, generasi yang sering mengalami perilaku ini adalah para milenial dan gen-Z,” ungkapnya.
Karena, lanjutnya, generasi milenial dan Z, cenderung mengutamakan keseimbangan hidup antara kerja dan mencari makna dalam pekerjaan.
“Ketika harapan ini tidak terpenuhi, mereka cenderung menarik diri secara emosi dari pekerjaan,” tambahnya.
Sementara itu, untuk menghindari tingginya angka silent quitting, Fajrianthi berharap perusahaan dapat membangun budaya yang positif dengan komunikasi terbuka dan dukungan nyata terhadap kesejahteraan karyawan.
“Ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti, meningkatkan dukungan organisasi, mengembangkan kepemimpinan, memperbaiki komunikasi, serta memberikan otonomi dan fleksibilitas kerja kepada karyawan,” tandasnya. (kir/saf/ham)