Selasa, 8 Juli 2025

Fatwa Haram Sound Horeg, Dosen UM Surabaya Minta Pendekatan Humanis

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Ilustrasi - sound horeg. Foto: Istimewa

Fatwa haram terhadap penggunaan sound horeg baru saja dikeluarkan oleh salah satu pondok pesantren di Pasuruan dan didukung oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.

M. Febriyanto Firman Wijaya Dosen Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya mengatakan, MUI sebaiknya tak hanya memberi pernyataan yang berbasis pada pertimbangan normatif, tetapi juga memperhatikan aspirasi masyarakat serta dinamika budaya.

“Kita harus menghindari pendekatan yang ekstrem. Solusi terbaik adalah melalui dialog antara pesantren, MUI, dan masyarakat, agar tidak terjadi perpecahan,” katanya pada Senin (7/7/2025).

Polemik sound horeg saat ini, katanya, seolah menjadi potret dari tantangan hidup berdampingan dalam masyarakat yang beragam.

Sehingga, mencari titik temu antara kebebasan berekspresi, nilai keagamaan, dan harmoni sosial adalah pekerjaan rumah bersama yang perlu terus diupayakan.

Oleh karena itu, ia menilai bahwa pelarangan sound horeg sebaiknya tidak dipandang secara hitam-putih, melainkan perlu dikaji secara komprehensif dari berbagai perspektif.

“Sound horeg bukan semata soal kebisingan, tapi juga bagian dari ekspresi budaya dan seni yang hidup dalam masyarakat. Pelarangan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai ini bisa menjadi keputusan yang tidak seimbang,” tuturnya.

Firman mengatakan, dalam kajian hukum Islam, prinsip dasar menyatakan bahwa segala sesuatu pada dasarnya boleh hingga ada dalil kuat yang mengharamkannya.

Ia merujuk pada kaidah “al-aṣlu fī al-ashyā’ al-ibāḥah ḥattā yadullu ad-dalīlu ‘alā at-taḥrīm”, yang berarti segala sesuatu hukumnya mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.

“Jadi, penting untuk bertanya, apakah ada dalil syar’i yang benar-benar kuat dan eksplisit untuk mengharamkan penggunaan sound horeg dalam konteks hiburan atau ekspresi publik?” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, ia juga mengingatkan agar kebijakan pelarangan itu tidak mengabaikan potensi dampak sosial, seperti memicu ketegangan sosial.

“Butuh pendekatan yang tidak hanya normatif, tapi juga kontekstual dan humanis. Jangan sampai fatwa menjadi alat pemisah antara nilai agama dan budaya yang sebenarnya bisa bersinergi,” pungkasnya. (ris/saf/ipg)

Berita Terkait


Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Selasa, 8 Juli 2025
25o
Kurs