Tahun 2025 menjadi periode krusial bagi Kabinet Merah Putih dalam mengorkestrasi pelaksanaan visi Asta Cita di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang ketat.
Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Pemerintah menetapkan pengetatan fiskal yang menyasar sedikitnya 15 pos belanja utama kementerian/lembaga, termasuk perjalanan dinas, rapat, dan belanja penunjang lainnya.
Kebijakan itu menuntut perubahan paradigma belanja negara agar tetap fokus pada program prioritas dan berdampak langsung bagi masyarakat.
Hadi Supratikta Peneliti Ahli Utama Kebijakan Iptek dan Inovasi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai, ada empat menteri dan kepala lembaga yang menunjukkan kinerja baik di tengah kebijakan efisiensi anggaran.
Keempat figur tersebut adalah Purbaya Yudhi Sadewa selaku Menteri Keuangan (Menkeu), Andi Amran Sulaiman Menteri Pertanian (Mentan), Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri (Mendagri), serta Sanitiar Burhanuddin Jaksa Agung.
Menurut Hadi, keempatnya berperan krusial dalam menjalankan visi Asta Cita di sektor ekonomi, pangan, birokrasi, dan penegakan hukum di tengah keterbatasan fiskal.
Di bidang keuangan negara, Hadi menilai terjadi perubahan gaya kepemimpinan fiskal sejak Purbaya Yudhi Sadewa menggantikan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan.
“Jika sebelumnya kebijakan fiskal cenderung berhati-hati, pendekatan yang diterapkan Purbaya lebih agresif dalam mendorong permintaan agregat guna mengejar pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6-8 persen,” ujarnya, Selasa (30/12/2025).
Langkah paling sentral yang ditempuh adalah penyuntikan dana Rp200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yang kemudian ditambah Rp75 triliun.
Dana tersebut bersumber dari dana pemerintah yang mengendap di Bank Indonesia sebanyak Rp425 triliun dan ditujukan untuk mengatasi kemacetan transmisi kredit serta memperkuat likuiditas perbankan suoaya mampu menopang sektor produktif dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Strategi tersebut dinilai cukup berani untuk menggerakkan dua mesin ekonomi, yaitu belanja pemerintah dan kredit swasta. Pasar modal merespons positif dengan penguatan bertahap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
“Di sisi lain, kebijakan itu juga memunculkan catatan, antara lain terkait hubungan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, serta risiko terhadap nilai tukar akibat pendekatan fiskal yang agresif,” ungkap Hadi dalam analisisnya.
Dia menilai, kinerja Purbaya dalam bidang penerimaan negara masih jauh memuaskan, lantaran kinerja pajak mengalami kontradiksi yang cukup dalam. Realisasi pajak yang turun berdampak pada ketergantungan utang.
“Selain itu, kebijakan agresif Purbaya juga berisiko terhadap nilai tukar: tercatat rupiah mengalami depresiasi yang cukup signifikan terhadap Euro (14,42 persen) dan Dollar Singapura (8,17 persen) sepanjang 2025,” ungkapnya.
Di sektor pangan, Amran Sulaiman Menteri Pertanian dinilai tampil agresif dalam mewujudkan swasembada beras dan jagung. Target yang semula dirancang dalam empat tahun dipercepat menjadi satu tahun, dengan capaian stok beras nasional stabil di atas 4 juta ton, tertinggi dalam 57 tahun terakhir.
Amran juga menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah Rp6.500 per kilogram sebagai upaya melindungi petani, sekaligus mendorong modernisasi pertanian melalui pembangunan 30 titik pabrik pakan bagi peternak kecil dengan total anggaran Rp20 triliun.
Namun, kebijakan penyerapan gabah tanpa seleksi mutu yang ketat memunculkan kekhawatiran terkait kualitas stok beras pemerintah.
Pada perkembangannya, kebijakan tersebut memicu dinamika komunikasi publik yang berujung pada langkah hukum berupa gugatan perdata senilai Rp200 miliar terhadap media Tempo, terkait laporan berjudul ‘Poles-Poles Beras Busuk’.
“Hal ini menjadi catatan negatif Amran dari sisi komunikasi publik dan kebebasan pers. Sikap anti kritik ini dapat menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi di Kabinet Merah Putih,” kata Hadi.
Di tengah kebijakan efisiensi Transfer ke Daerah (TKD), Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri dinilai memegang peran kunci dalam menjaga efisiensi anggaran tidak sampai menghentikan roda pembangunan di daerah.
Selain itu, Tito juga mengemban tanggung jawab menjaga stabilitas inflasi daerah yang semakin menantang seiring kebijakan efisiensi TKD.
Untuk itu, Tito secara rutin memimpin rapat koordinasi pengendalian inflasi guna memantau perkembangan harga dan menjaga daya beli masyarakat agar perekonomian daerah tetap tumbuh secara berkelanjutan.
“Melalui mekanisme tersebut, Mendagri dapat memantau pergerakan harga komoditas pangan di berbagai daerah serta memberikan evaluasi kepada pemerintah daerah yang tingkat inflasinya berada di atas rata-rata nasional. Hingga Oktober 2025, inflasi tahunan tercatat sebesar 2,86 persen, dan dinilai berada pada level yang aman bagi produsen dan konsumen,” paparnya.
Hadi menambahkan, Tito juga mendorong perubahan pola kerja di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan mengarahkan pemerintah daerah untuk memangkas belanja perjalanan dinas dan mengalihkannya ke program yang berdampak langsung bagi masyarakat.
Selain itu, dia menekankan pentingnya optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui inovasi birokrasi tanpa menambah beban masyarakat.
Tantangan lain yang dihadapi Tito adalah memastikan program prioritas Presiden, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Program 3 Juta Rumah, dapat terlaksana di daerah meskipun dengan keterbatasan anggaran.
Dalam hal ini, Mendagri telah menginstruksikan pemerintah daerah untuk memanfaatkan aset negara yang tidak terpakai sebagai lahan pembangunan serta menghapuskan sejumlah retribusi perizinan, termasuk Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Meski demikian, Hadi mencatat masih terdapat tantangan dalam mendorong peningkatan kemandirian fiskal sebagian pemerintah daerah. Sehingga, penyesuaian kebijakan TKD memerlukan penguatan koordinasi dan pendampingan lebih lanjut.
“Di tengah tekanan transisi kebijakan yang tinggi, kemampuan Mendagri dalam menjaga stabilitas politik, keamanan, dan inflasi tetap menjadi catatan positif,” kata Hadi.
Di bidang penegakan hukum, Jaksa Agung ST Burhanuddin dinilai menunjukkan kinerja menonjol melalui pengungkapan berbagai kasus mega korupsi dan upaya penyelamatan aset negara.
Kejaksaan Agung mencatat penanganan sejumlah perkara besar, termasuk di sektor sumber daya alam dan industri keuangan.
Teranyar, Kejaksaan Agung melaporkan keberhasilan penyelamatan keuangan negara sebesar Rp6,6 triliun dari penertiban kawasan hutan dan penanganan perkara korupsi melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Meski demikian, masih terdapat catatan terkait penuntasan buronan kasus besar dan pentingnya harmonisasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terpisah, Yahnu Wiguno Sanyoto Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Baturaja sekaligus Ketua Bidang Eksternal Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI) Koordinator Wilayah Sumatra menilai, keempat figur kabinet tersebut patut dicatat kinerjanya di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang ketat.
Menurut Yahnu, efisiensi merupakan ujian kepemimpinan yang menuntut keberanian melakukan evaluasi program secara jujur, pemangkasan program tumpang tindih, serta perlindungan terhadap program yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Dia juga menekankan pentingnya koordinasi lintas kementerian dan komunikasi publik yang lebih terbuka agar tujuan kesejahteraan dapat tercapai secara berkelanjutan.
“Tahun 2025 menunjukkan siapa menteri yang mampu beradaptasi dan siapa yang masih perlu memperbaiki kinerja agar tujuan kesejahteraan benar-benar tercapai,” kata Yahnu. (rid/ipg)
NOW ON AIR SSFM 100
