Jumat, 19 April 2024

Komunitas BISA, Meraup Rejeki di Tengah Pandemi

Laporan oleh Chusnul Mubasyirin
Bagikan
Ibu-ibu Komunitas BISA tengah berproduksi membuat tempat cuci tangan dengan seni lukis cantik. Kegiatan itu dilakukan saat awal pandemi terjadi. Foto: istimewa

Bagi Komunitas BISA (Berkreatif, Inovatif, Solutif, Aktif), masa pandemi bukan berarti berhenti berkreasi. Karena mereka tetap melihat peluang ekonomi yang sama seperti masa sebelumnya. Kok bisa?

Satu di antaranya Endah Purwaningsih, seorang ibu rumah tangga yang gemar melukis di berbagai bidang, terutama pada kain. Warga Griyo Wage Asri II Wage Taman Sidoarjo itu mampu menghasilkan produk kreatif berbasis lukis, seperti jilbab, mukenah, tote bag, taplak, dan banyak lagi.

Produk-produk kain lukis itu, katanya, menarik minat banyak pembeli, terutama mereka para pecinta art, khususnya seni lukis. Ragam produk itu ditawarkan secara online melalui kanal media sosial instagram dan whatsapp bisnis.

Namun ujian pasar terjadi ketika negeri ini dilanda pandemi Covid-19. Reaksi pasar berubah. Bukan menolak, tapi karena hampir semua orang lebih mengalokasikan dana untuk keamanan pangan dan kesehatannya.

Produk-produk kreatif yang dihasilkan Endah pun terhenti sementara. Ia berpikir keras agar tetap bisa berproduksi dan jualan tetap jalan.

Alhasil, ia menemukan jalan dan memproduksi barang-barang yang sedang banyak dibutuhkan orang saat pandemi, antara lain tempat cuci tangan dan masker. Berbeda dari produk umumnya, kedua produk itu tetap disematkan seni lukis sebagai basis utamanya, sehingga tampil cantik.

Tempat cuci tangan dibuat ketika ada anjuran bagi semua warga harus rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir untuk mencegah penularan virus corona. Mula-mula tempat cuci tangan itu diproduksi banyak untuk ditempatkan di berbagai titik strategis di kampungnya dengan biaya ditanggung bersama warga kampung.

Setelah itu memproduksi masker kain, menyusul adanya anjuran memakai masker bagi semua orang untuk menghalau penyebaran virus corona. Masker kain berhias seni lukis itupun banyak diminati sehingga makin memacu semangatnya untuk terus berproduksi. Dijual dengan harga Rp20 ribu, ia pun banyak mendapat pesanan, baik dari pembeli langsung maupun reseller.

Baik masker maupun produk miliknya, kini sudah merambah berbagai kota di Jawa Timur, seperti Surabaya, Sidoarjo, Lamongan dan lainnya. Untuk memenuhi pesanan itu, selain berproduksi sendiri ia juga memberdayakan ibu-ibu lain yang tergabung dalam komunitas tempat dirinya berkembang, yakni Komunitas BISA.

Manfaatkan Jejaring Komunitas

Mulanya Endah melukis bukanlah karena memiliki bakat seni. Ia bersentuhan dengan seni lukis langsung ketika menemani anaknya yang mendapat tugas menggambar dari sekolah. Kesulitan pasti dialami, tapi tugas sekolah tidaklah berhenti. Lambat laun ia makin menikmati dan menerapkannya pada bidang lain.

Kemahiran melukisnya semakin terasah ketika bergabung dengan Komunitas BISA yang digagas oleh Estu Supamiarsih, pada medio 2018. Sebelumnya Estu sudah banyak menggelar kegiatan bersama ibu-ibu dalam berbagai acara.

Selama berkumpul dengan banyak ibu-ibu itu, ia sering mendapat curhatan, “Ibu-ibu itu banyak yang ingin jualan tetapi bingung mau jualan apa?”

Ibu 3 anak itu pun terpikir bagaimana memberi mereka jalan keluar. “Kemudian yang ada di pikiran saya, bagaimana berbagi pengetahuan kepada ibu-ibu itu, sesuatu yang terjangkau dan mampu menghasilkan barang yang bisa diproduksi mandiri,” urainya.

Dia mulai mengumpulkan beberapa teman yang mempunyai keahlian tertentu. Termasuk diantaranya Endah. Gayung pun bersambut. Dari ide-ide sederhana akhirnya berkelanjutan.

Di awal, bisa mengumpulkan ibu-ibu sebanyak 10-25 orang sudah cukup. Terlalu banyak pun, menurutnya, juga tidak maksimal.

“Akhirnya mulai kami membuat pelatihan-pelatihan, dari membuat kain dengan Ecoprint, melukis hijab hingga ke baju. Karena ibu-ibu peserta ini suka, akhirnya mereka produksi sendiri,” ungkapnya.

Memang tidak semua bisa berhasil berproduksi. Diantara mereka masih ada yang belum menemukan passion dari apa yang akan ditekuni, walau semangat cukup besar.

“Untuk yang satu ini, Saya tidak akan tinggal diam. Saya berusaha menggali lebih dalam seputar minat dan kemampuan mereka,” ungkap ibu 46 tahun ini.

“Akhirnya kita mulai membuat lebih banyak pelatihan. Tidak hanya membuat benda-benda kerajinan atau craft, tetapi juga pelatihan memasak atau cooking,” urainya.

Saat peserta semakin banyak, dibentuklah wadah dengan nama komunitas BISA (Berkreatif, Inovatif, Solutif, Aktif)

Berbagai pelatihan dilakukan di Surabaya hingga Nganjuk. Komunitas ini pun membentuk WA Grup agar senantiasa saling terkoneksi antar anggota yang tersebar itu.

“Anggota yang terkoneksi dalam wadah grup WA itu hingga sekarang sebanyak 50-an orang. Dalam komunikasi grup itu, saya berperan seakan sebagai konsultan mereka. Tidak hanya seputar kreativitas, termasuk di dalamnya menampung curhatan mereka,” jelasnya diiringi tawa.

Sebenarnya, kata Estu, nyaris semua anggota punya kemauan dan kemampuan kreatif. Sayangnya, beberapa anggota masih malu untuk menunjukkan hasil karyanya ke pasar. Tidak cukup ‘PD’ dengan hasil karyanya.

“Jadi tugas saya yang lain adalah membangkitkan rasa percaya diri mereka akan produk karyanya. Terlebih lagi di jaman sekarang yang serba digital. Sudah tidak ada tempat lagi untuk isin-isin,” tegasnya.

Dari pelatihan itu, ternyata beberapa ibu sudah ada yang berani jualan, bahkan hasilnya lumayan. Beberapa kali pelatihan, ada anggota yang tiba-tiba berhalangan hadir. Alasannya mereka lagi sibuk berjualan, ya berjualan hasil karya mereka, seperti hijab lukis dan sebagainya.

Tiap anggota mempunyai kekhasan masing-masing dalam menghasilkan karya seni.

“Kami yang hanya membimbing, tidak jarang menjumpai karya yang jauh lebih bagus dibandingkan dengan apa yang kami contohkan,” tambahnya.

Komunitas yang latar belakang anggotanya hampir semua ibu rumah tangga ini tidak hanya diberi pelatihan untuk berproduksi, tapi sekaligus saling bantu membuka akses pasar. Ada yang melalui bazar, pameran, akses ke sentra  UKM, hingga toko oleh-oleh khas.

“Dengan saling membangun jaringan lewat komunitas, keuntungan pasarnya lebih luas dibanding mengandalkan jualan sendiri. Diantara anggota saling memajang foto produk di kanal onlinenya masing-masing, sehingga masyarakat yang mengakses merasa memiliki banyak tawaran produk untuk dipilih,” jelasnya.

Berproduksi dari Rumah

Endah Purwaningsih, seorang anggota Komunitas BISA berproses melukis pada masker. Foto: Istimewa

Selama ini, kata Estu, banyak menggelar kegiatan di Taman Flora Surabaya, yang penuh bunga nan asri. Tujuannya agar peserta lebih dapat suasana dalam mengembangkan imajinasinya dalam berkreasi. Agenda kumpul-kumpul itu biasa digelar tiap minggu kedua, tiap bulan.

Tapi, “Sementara ini, kami meniadakan kegiatan kumpul-kumpul, karena masih dalam suasana menahan penyebaran penyakit Covid-19. Kalau nanti situasinya sudah aman, kami akan adakan lagi,” tegasnya.

Seperti dilakukan Endah dan teman-teman yang membantunya, proses dilakukan di rumah masing-masing.

“Karena tidak boleh ada kerumunan, kami berproduksi di rumah,” ungkap Endah. Komunikasi selama pandemi hanya dilakukan melalui grup WA untuk saling sharing soal motif lukis yang akan disematkan pada produk yang dibuat.

Tapi, diakui, kordinasi secara online dirasa kurang memuaskan dibanding pertemuan langsung antar anggota.

“Kalau saling ketemu, suasana jadi seru. Macam-macam yang diomongkan sehingga bisa memunculkan banyak inspirasi untuk bisa diproduksi bersama-sama,” tegas Endah. (cus/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 19 April 2024
30o
Kurs