Jumat, 19 April 2024

Skema Pembatasan BBM Bersubsidi Lebih Rasional untuk Menjaga Daya Beli Masyarakat

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Pengendara motor mengisi BBM jenis Pertalite di sebuah SPBU Pertamina. Foto: Antara

Trubus Rahadiansyah Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti menilai, Pemerintah sebaiknya memilih opsi pembatasan pengguna ketimbang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.

Menurutnya, hal itu lebih bijak untuk menghindari inflasi dan tetap menjaga daya beli masyarakat.

“Pilihan Pemerintah sebaiknya pembatasan saja, tidak menaikkan harga. Karena, kalau menaikkan dampaknya ke inflasi. Inflasi sekarang sudah 4,9 persen karena pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan tarif ojek berbasis aplikasi online. Kalau BBM bersubsidi naik, inflasi bisa jadi 8 persen,” ujarnya di Jakarta, Rabu (24/8/2024).

Keputusan Pemerintah menaikkan tarif ojek daring/ojol sampai 30 persen akhir bulan Agustus 2022 yang tertuang dalam Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor, lanjut Trubus, ikut menyebabkan kenaikan inflasi.

Alokasi volume subsidi BBM jenis Pertalite dan Solar diperkirakan habis pada Oktober 2022. Sehingga, akan membengkak sampai 29 juta kiloliter hingga akhir tahun.

Harga BBM bersubsidi berpeluang naik untuk mengantisipasi naiknya anggaran subsidi energi hingga Rp700 triliun dari Rp502 triliun.

Dia menambahkan, kalau Pemerintah memilih opsi penaikan BBM subsidi, bisa memunculkan ketidakpercayaan publik.

“Saya khawatir dampak lanjutannya terjadi public distrust. Situasi sosial politik jadi kacau. Karena ekonomi nanti jadi politik. Karena sudah menjelang 2024, partai-partai akan berlomba untuk mencari massa dengan memanfaatkan kenaikan BBM. Jadi, Pemerintah harus prudent,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Trubus mendorong Pemerintah membuat kebijakan bersifat khusus dengan memberikan bantuan langsung kepada masyarakat yang masuk Data Terpadu Kesejahteran Sosial (DTKS).

Selain itu, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi juga diterapkan pada kendaraan dengan kategori sektor esensial dan non esensial. Seperti transportasi publik, kendaraan logistik, sepeda motor di bawah 150 cc, dan mobil berkapasitas mesin 1.000 cc.

“Menurut saya, semua mobil dialihkan ke Pertamax. Kalau mau subsidi yang 1.000 cc. Saya tidak setuju dengan penggunaan Aplikasi MyPertamina, karena tambah rumit. Kasihan orang yang tidak tahu,” tegasnya.

Skema lain yang disampaikan Trubus supaya Pemerintah bisa menyelamatkan keuangan negara tanpa membebani masyarakat kecil yaitu membeli minyak impor dengan harga murah, menunda proyek ambisius, dan mengefisiensikan anggaran birokrasi.

“Cara lain yaitu Pemerintah harus mencari sumber penghasilan lain, misal membeli minyak dari Rusia. Kan ada diskon 30 persen. Pemerintah menunda dulu proyek ambisius semisal IKN yang belum mendesak, infrastruktur yang kira-kira tidak strategis dicoret dulu, ditunda. Efisiensi di birokrasi, misalnya anggaran-anggaran yang tidak perlu, pejabat negara yang suka jalan-jalan, itu dipangkas semua,” tambahnya.

Kemudian, Trubus berharap Pemerintah memberi perhatian lebih pada upaya menjaga daya beli masyarakat dan mempertahankan stabilitas harga.

“Pemerintah fokus saja menjaga stabilitas harga dengan memberikan insentif pada masyarakat untuk bisa menjangkau harga-harga,” katanya.

Sebelumnya, Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian menyatakan sudah punya skema alternatif harga BBM, dan akan melaporkan kepada Joko Widodo Presiden.

Pertama, Pemerintah menaikkan subsidi sampai mendekati Rp700 triliun dengan risiko semakin membebani fiskal.

Kedua, pengendalian volume konsumsi BBM bersubsi jenis Pertalite dan Solar dengan menentukan kategori yang berhak mengkonsumsi BBM bersubsidi. Ketiga, menaikkan harga BBM bersubsidi.

Sementara itu, Faisal Rahman Ekonom Bank Mandiri mengatakan, opsi untuk menaikkan harga BBM secara berkala tidak efisien.

“Kalau berkala tapi ujungnya tetap akan Rp10 ribu per liter, maka dampak inflasi di ujung tahun akan tetap terjadi. Mungkin sedikit lebih rendah karena dampak second roundnya tidak sebanyak kalau langsung dinaikkan ke Rp10 ribu,” ucapnya.

Dalam proyeksi Office of Economist Bank Indonesia, kalau Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi Pertalite ke Rp10 ribu dan Solar Rp 8.500 per liter, potensi kenaikan inflasi di angka 6 persen.

Dengan kenaikan harga BBM, potensi minus pertumbuhan ekonomi hanya -0.17 persen.

Bank Mandiri masih optimistis pertumbuhan ekonomi tahun 2022 mampu mencapai di atas 5 persen, walau ada sejumlah tantangan seperti geo politik, dan potensi kenaikan harga BBM bersubsidi.

“Pelonggaran PPKM meningkatkan mobilitas publik serta kinerja ekspor karena masih tingginya harga-harga komoditas. Sehingga, masih mampu menopang pertumbuhan. Tapi, kalau BBM harganya dinaikkan, pasti ada dampaknya ke growth. Di sisi lain, secara net momentum pertumbuhan ekonomi 2022 masih lebih baik,” pungkasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 19 April 2024
30o
Kurs