Jumat, 17 Mei 2024

JMP 2 Berhenti Beroperasi, Akademisi Tekankan Pentingnya Rejuvenasi Mal

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi gedung Jembatan Merah Plaza (JMP). Foto: tourism.surabaya.go.id

Jembatan Merah Plaza (JMP) 2 resmi menghentikan operasionalnya pada Minggu (28/4/2024) kemarin. Keputusan ini diambil karena beban biaya operasional sangat besar, sementara pembelian semakin sepi.

Agung Santoso Manajer Operasional PT Jasamitra Propertindo menyampaikan, masa sewa JMP 2 memang sudah berakhir sejak 30 Juni 2021.

Sebelumnya pengelola berupaya negosiasi perpanjangan. Tapi mulai 2019 hingga sekarang, mal agak berat. Plus adanya pandemi Covid-19 pada 2020.

Puncaknya hanya sekitar 15 dari 200 pedagang yang bertahan. Akhirnya, dengan roda perekonomian yang semakin berat, manajemen melepas kawasan JMP 2 ke pemilik lahannya, yakni Pelindo.

Sementara itu, JMP 1 masih beroperasi normal. Pedagang-pedagang JMP 1 di lantai dasar didominasi dengan kain-kain perca hingga kebutuhan fashion.

“JMP usianya sudah 29 tahun dan itu menjadi rujukan di Indonesia timur. Dan kami menyebutnya sebagai Pasar Tanah Abangnya Surabaya,” kata Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring Guru Besar Doktoral of Management & Entrepreneurship Universitas Ciputra dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (30/4/2024).

Menurutnya, penutupan JMP 2 disebabkan oleh okupansi yang turun. Hal ini dimulai sejak pandemi Covid-19. Situasi ini menghabiskan energi serta berpengaruh ke roda ekonomi.

“Untuk mal skala menengah, berdasarkan hitungan saya, rata-rata dikunjungi 30.000 orang per bulan sebelum pandemi. Akibat pandemi kira-kira 1.500 orang per bulan yang berkunjung ke mal,” ungkapnya.

Ia menyebut, kondisi ini tak hanya dirasakan oleh JMP 2 saja. Namun ada banyak mal di Kota Pahlawan yang merasakan hal serupa. Padahal ada puluhan ribu orang yang bekerja di gerai-gerai yang ada di mal.

“Ini memang berat. Namun saya rasa pengusaha harus berkreasi,” terang Ketua DPD Persatuan Profesor/Guru Besar Indonesia Provinsi Jawa Timur (Jatim) ini.

Selain pandemi Covid-19, ia juga mengamini bahwa sistem belanja online berpengaruh besar ke eksistensi mal. Sebab, sistem online membuat pembeli tidak harus datang ke gerai atau toko yang dituju.

“Belanja online juga lebih praktis, murah, efisien, bahkan tidak berisiko parkir mobil di mal yang sulit dan berbayar. Selain itu konsep belanja dan berlibur juga udah bergeser. Banyak gerai minimarket yang super lengkap juga berada di seputaran Surabaya. Ini juga menjadi kompetitor,” jabarnya.

Dalam kasus JMP 2, ia menilai seharusnya ada pola dan strategi untuk menarik pengunjung yang lebih menarik dan sektor yang belum pernah ada di sana sebelumnya. Yang didasarkan demografi pengunjung.

“Harus ada rejuvenasi atau peremajaan. Seperti Super Mall Karawaci. Itu kan mal tua, legendaris. Sejak 1992. mereka berhasil bangkit kembali. Bisnis mal juga harus punya tim research and development-nya. Mereka yang melihat apa yang terjadi ini, dan menyiapkan antisipasinya,” jabatnya.

Jika pengelola mal maupun gerai menawarkan konsep baru yang lebih meyakinkan, ia yakin akan ada investor baru yang tertarik.

Selain itu, ia juga memandang perlunya campur tangan pemerintah untuk tidak sembarangan memberi izin kepada inventor yang ingin mendirikan mal.

Saat ini, menurutnya, ada banyak mal namun dengan konsep yang tidak jelas. Padahal seharusnya tata letak mal di Surabaya juga harus ditata.

“Jadi saya rasa regulasi juga harus jelas. Pemkot juga harus memberikan analisa yang baik kepada investor. Mal juga harus berpikir kritis. Bisa mengandalkan UMKM, dan jangan hanya barang-barang pabrikan,” pesannya. (saf/ham)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya
Surabaya
Jumat, 17 Mei 2024
29o
Kurs