Sabtu, 11 Mei 2024

Mantan Kepala BPPN Tersangka Korupsi SKL

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Syafruddin Arsyad Temenggung mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Foto: Senayan Post

KPK menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun sehingga merugikan negara Rp3,7 triliun.

KPK menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian surat pemenuhan kewajiban pemegang saham dalam hal ini SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada tahun 2004, kata Basaria Panjaitan Wakil Ketua KPK di Gedung KPK RI, Jakarta, Selasa (25/4/2017).

Hal itu, lanjut dia, sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada BPPN. KPK lantas meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) sebagai tersangka.

Penyelidikan kasus tersebut, kata Basaria, sejak 2014 dengan meminta keterangan sejumlah pihak sehingga KPK dapat yakin bahwa perkara itu merugikan keuangan negara.

Setelah melakukan pengumpulan informasi dan data serta penyelidikan, kemudian meminta keterangan dari beberapa pihak, menurut dia, terpenuhi dua alat bukti yang cukup. Dalam hal ini KPK sudah melakukan gelar perkara (ekspose) dan penyidik sudah menyepakati meningkatkan perkara ini ke tingkat penyidikan, lansir Antara.

Syafruddin selaku ketua BPPN diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.

Atas penerbitan SKL itu diduga kerugian negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun. Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini atas dasar perjanjian Indonesia dengan IMF.

Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun, penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.

Terkait dengan dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Akan tetapi, Kejaksaan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden RI Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Dalam penyelidikan kasus ini, KPK sudah memeriksa sejumlah pejabat pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004, yaitu Laksamana Sukardi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001 s.d. 2004, I Putu Gede Ary Suta Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Dorodjatun Kuntjoro-Jakti Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004, Rizal Ramli Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000 s.d. 2001, Bambang Subiyanto Menteri Keuangan 1998 s.d. 1999, Kwik Kian Gie Menko Perekonomian 1999 s.d. 2000 dan Kepala Bappenas 2001 s.d. 2004.(ant/iss)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Sabtu, 11 Mei 2024
31o
Kurs