Senin, 20 Mei 2024

Imbalan Uang untuk Pelapor Korupsi Perlu Diimbangi Penguatan Sistem Pengawasan

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Abdul Ficar Hadjar Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti (kemeja biru tua) menyampaikan pandangan soal PP 48/2018 yang mengatur imbalan buat masyarakat pelapor korupsi, Sabtu (13/10/2018), di Jakarta. Foto: Farid suarasurabaya.net

Abdul Ficar Hadjar Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti menilai, pemberian kompensasi bagi para pelapor kasus korupsi berisiko menimbulkan masalah baru.

Masalah itu bisa timbul antara lain kalau dalam pelaksanaannya, tidak dimbangi dengan integritas para penegak hukum dan juga budaya hukumnya.

Menurut Ficar, pemberlakuan aturan itu harus diimbangi penguatan sistem pengawasan, untuk menghindari adanya pemufakatan jahat antara penegak hukum dan para pelapor, karena tergiur imbalan Rp200 juta.

“Pengawas di masyarakat harus kuat. Korupsi terjadi karena lemahnya pengawasan, karena yang diawasi juga kadang terlibat dalam korupsi. Intinya, ini membutuhkan pengawasan juga bagi penegak hukum, yang menentukan laporan itu diterima atau tidak perlu diawasi,” katanya dalam diskusi publik di Jakarta, Sabtu (13/10/2018).

Selain itu, Ficar menekankan soal sosialisasi PP 48/2018 juga perlu disampaikan kepada masyarakat luas, terutama mengenai proses hukum dan pemberian imbalannya.

“Tentunya perlu dijelaskan kepada masyarakat bahwa dapatnya imbalan itu sesudah proses hukum sampai inkrah dan ada recovery terhadap kerugian negara. Nah, dari situ baru kemudian diberikan uangnya,” imbuhnya.

Seperti diketahui, Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018, yang mengatur tentang pemberian kompensasi untuk masyarakat yang melaporkan kasus korupsi.

Dalam peraturan itu, pelapor kasus korupsi bisa mendapat imbalan dua permil dari jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan kepada negara, dengan nilai maksimal Rp200 juta.

Menurut Joko Widodo Presiden, peraturan itu dibuat supaya masyarakat berperan aktif melaporkan praktik tindak pidana korupsi.

Laporan bisa dilakukan secara lisan atau tulisan ke aparat penegak hukum. Salah satunya lewat jalur KPK Whistleblower’s System (KWS) yang ada di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Supaya ditindaklanjuti, laporan harus dilengkapi dengan identitas diri dan hal lain yang mendukung kasus tindak pidana korupsi tersebut. Sedangkan kejadiannya bisa dituangkan dalam bentuk uraian tertulis.

Selanjutnya, aparat penegak hukum akan menilai laporan itu memenuhi syarat atau tidak. Penilaian dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja, terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap diterima oleh jaksa. (rid/dwi)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya
Surabaya
Senin, 20 Mei 2024
30o
Kurs