Kamis, 25 April 2024

Upaya Water-Bombing Untuk Wilayah Terdampak Likuifaksi Sulteng

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Helikopter MI-8 memulai melakukan water-bombing atau pengemboman material disinfektan di wilayah terdampak likuifaksi, Kamis (18/10/2018). Foto: Istimewa

Helikopter MI-8 memulai melakukan water-bombing atau pengemboman material disinfektan di wilayah terdampak likuifaksi, Kamis (18/10/2018). Beberapa wilayah tersebut seperti Petobo, Balaroa, dan Jono Oge.

Pengemboman menjadi langkah yang efektif karena cakupan wilayah yang luas dan kondisi lapangan yang berpotensi terjadi amblesan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirimkan helikopter untuk membantu operasi water-bombing yang dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Kementerian Kesehatan dan Kesehatan TNI. Pengisian material disinfektan diisi ke dalam bucket atau ember yang telah dipersiapkan personel TNI melalui mobil tanki.

Penanganan wilayah terdampak likuifaksi tidak hanya melalui pengemboman udara, tetapi juga fogging atau penyemprotan oleh para personel di darat. Langkah tersebut telah dilakukan di wilayah-wilayah yang dapat dijangkau di Petobo dan Balaroa.

Penyemprotan juga dilakukan di halaman rumah sakit yang digunakan untuk pengumpulan jenazah yang berhasil dievakuasi, seperti RS Undata, RS Madani, dan RS Bhayangkara. Tindakan ini merupakan upaya untuk membasmi vektor yang dapat mengancam kesehatan lingkungan. Namun untuk solusi jangka panjang, penimbunan wilayah terdampak likuifaksi harus segera dilakukan.

Pengeboman maupun penyemprotan disinfektan ini merupakan upaya antisipasi penyebaran penyakit melalui vektor seperti lalat, kecoa, atau tikus. Banyaknya korban meninggal yang diperkirakan masih tertimbun bangunan maupun tanah mendorong upaya antisipasi tersebut.

Di sisi lain, operasi evakuasi korban meninggal telah dihentikan tim gabungan pada 12 Oktober 2018 lalu. Meskipun tidak tertutup kemungkinan mereka melakukan operasi evakuasi ketika mendapatkan laporan dari warga.

Penimbunan wilayah terdampak untuk dijadikan sebagai ruang publik sempat disampaikan pada pembahasan penanganan ke depan. Dikutip dari rilis Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) pada Selasa lalu (16/10/2018) bahwa Ridwan Mumu Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulteng menyampaikan lokasi Balaroa dan Petobo akan ditimbun terlebih dahulu dan ditetapkan sebagai pemakaman massal.

Selanjutnya pemerintah setempat akan menutup lokasi tersebut dan tidak boleh lagi ada pembangunan. Ini dikarenakan wilayah akan dibuat sebagai kawasan hijau dan monumen di dua lokasi tersebut

Sementara itu, Ahmad Yurianto Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan merekomendasikan penimbunan di wilayah terdampak likuifaksi, seperti di wilayah Petobo yang lapisan tanahnya terangkat akan ditimbun. Cara terbaik adalah menimbun dengan tanah seperti selayaknya memakamkan jenazah dalam kehidupan masyarakat sehari hari.

“Pertimbangan terbaik dalam penanganan jenazah yang belum diketemukan setelah hari ke-7 adalah dengan tetap memakamkan di lokasi yang diduga jenazah itu berada,” ujar Yurianto beberapa hari lalu (12/10/2018) berdasarkan rilis yang diterima suarasurabaya.net.

Menurutnya, langkah ini adalah bentuk penghormatan terhadap jenazah tersebut, di samping kemungkinan untuk bisa menemukan jenazah dalam keadaan utuh sangat kecil kemungkinannya, penggalian jenazah juga sangat berisiko terhadap penyebaran dan penularan bakteri-bakteri berbahaya bagi kesehatan lingkungan sekitar.

Yurianto juga menyampaikan bahwa perlu dilakukan oleh dinas terkait untuk melakukan pengecekan kualitas air tanah secara berkala. Selain itu, upaya yang perlu dilakukan ketika melalukan penimbunan yaitu pembuatan drainase yang baik agar air hujan bisa terkumpul dengan baik dan bisa diintervensi sebelum masuk sungai.

“Ideal jika timbunan ditanggul dan drainase dibuat dari semen,” ungkap Kepala Pusat Krisis Kemenkes.

Hasil analisis sementara pemetaan secara spasial menunjukkan bahwa wilayah terdampak likuifaksi pascagempa Sulteng menyebabkan pengangkatan dan amblesan di Balaroa, Kota Palu. Sedangkan jumlah perkiraan rumah terdampak mencapai 1.045 unit. Luas wilayah terdampak mencapai 47,8 hektar. Jumlah perkiraan rumah terdampak di Petobo, Kota Palu mencapai 2.050 unit dengan luas wilayah 180 hektar, sedangkan di Jono Oge, Sigi, mencapai 366 unit dengan luas wilayah 202 hektar.(tin/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 25 April 2024
27o
Kurs