Kamis, 25 April 2024

Analisa FKPT Jatim Soal Aksi Teror yang Masih Terjadi

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ledakan bom bunuh diri yang terjadi di GPPS Jalan Arjuno, Surabaya, Minggu (13/5/2018). Foto: Stefani via e100

Aksi teror kembali terjadi. Pelaku yang diduga dua orang, meledakkan diri di depan gerbang Gereja Katedral Makassar pada Minggu (29/3/2021) pukul 10.30 WITA. Aksi terorisme ini tentu bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya pada Mei 2018 lalu, bom bunuh diri menyasar tiga gereja dan pos penjagaan markas polisi di Surabaya.

Hesti Armiwulan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jatim berpendapat bahwa ada banyak faktor yang membuat aksi terorisme masih saja terjadi di Indonesia. Salah satunya karena faktor penyebab pelaku melakukan aksi, yakni secara ideologi dan pengaruh, yang sulit dilenyapkan.

“Pertama terkait ideologi. Kalau kejahatan terorisme sebagai ideologi, maka mereka akan terus berusaha melakukan aksi teror sampai tujuan mereka tercapai,” ungkapnya dalam program wawasan Radio Suara Surabaya, Senin (28/3/2021).

Sedangkan, aksi terorisme merupakan kejahatan transnasional dengan gerakannya berjejaring di banyak negara. Tujuannya, menentang sistem pemerintahan dan menginginkan perubahan secara radikal. Maka jika penyebabnya adalah faktor ideologi, kata Hesti, kelompok teroris akan terus melakukan aksinya sampai tercapai perubahan sesuai apa yang mereka kehendaki.

Kedua, karena adanya pengaruh. Pengaruh bisa dikarenakan faktor ekonomi atau kemiskinan/kesejahteraan, maupun faktor sosial seperti ketidakadilan. Faktor tersebut mampu menjadi pemicu seseorang melakukan terorisme, yang lalu diiringi oleh keyakinan atas tindakan mereka.

“Jangan-jangan, pelaku adalah mereka yang tidak paham gerakan besar ini dan dipengaruhi secara masif. Tapi di balik itu semua pasti ada keyakinan untuk melakukan tindakan itu (terorisme),” ujarnya.

Hesti menambahkan, penaggulangan aksi terorisme bukan dengan tindakan represif. Namun penguatan sosial agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan paham radikalisme dan ekstrimisme.

Hal ini menjadi tantangan sendiri mengingat sensitifitas sosial di masyarakat saat ini mulai merenggang. Padahal dengan mengenal dan mengetahui orang di sekitar lingkungannya, masyarakat dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap aksi-aksi terorisme.

“Karena pandemi dan lain-lain akhirnya membuat sensitifitas sosial semakin berkurang. Padahal kalau ada yang pilih-pilih dalam bergaul, atau kalau diajak bergaul dalam kondisi yang tidak tepat mengeluarkan kata-kata ekstrem, kebencian, ketidaksukaan, tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan, itu yang harus diwaspadai,” jelas Hesti.

Menurutnya, kelompok ekstrimisme sudah mulai melakukan rekrutmen secara daring, bukan lagi melalui forum-forum kampus, masjid atau tempat terbuka lain. Tak jarang, kelompok tersebut menyelipkan dalil-dalil agama untuk memperkuat pengaruhnya.

Bahkan, lanjut Hesti, kelompok ekstrimisme memiliki jaringan yang terorganisir melalui akun-akun media sosial agar pesan yang disampaikan menjadi persuasif dan dapat dipersonifikasi.

“Mereka punya pasukan untuk saling mendukung. Misal saya dapat informasi dan saya posting, atau saya mengomentari, maka komentar saya sudah ada yang jawab dan saling mendukung. Seolah mereka bagian dari masyarakat, padahal, ya, dari kelompok yang sama,” katanya.

Hesti menilai, bahwa penting untuk mengedukasi masyarakat dalam menerima informasi. Kelompok ekstrimis juga sering menggunakan kata-kata kebencian terhadap pemerintah. Bukan hanya kritik, tapi juga diikuti pesan-pesan dan kebencian hingga mendeskreditkan agama/kelompok tertentu.

“Suatu kondisi yang memprihatinkan seperti bencana alam, bantuan pandemi, panti asuhan. Jadi itu yang dipakai mereka untuk mencari dana karena sumber-sumber dana mereka mulai dideteksi. Akhirnya mereka mencari cara lain salah satunya melalui media sosial,” kata Hesti.

“Oleh karena itu, moderasi agama perlu dilakukan oleh mereka yang benar-benar paham kitab suci,” imbuhnya.

Aksi terori dengan bom bunuh diri sudah berulang kali terjadi di Indonesia, tidak hanya di Makassar dan Surabaya. Jika ditilik kembali ke belakang, aksi teror sudah banyak terjadi dengan motif yang memiliki kemiripan. Seperti di Terminal Kampung Melayu Jakarta (2017), Mapolresta Surakarta (2016), Sarinah, Jakarta (2016), Mapolresta Cirebon (2011), Hotel JW Marriot  (2003 dan 2009) dan Ritz Calton, Jakarta (2009), Bom Bali 1 (2002), Bom Bali II (2005) dan Kedubes Australia, Jakarta (2004).(tin/bid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 25 April 2024
27o
Kurs