Sabtu, 27 April 2024

HNW : SKB Tiga Menteri tentang Seragam Sekolah Harusnya Proporsional

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI. Foto: Faiz/Dok. suarasurabaya.net

Hidayat Nur Wahid (HNW) Wakil Ketua MPR RI yang juga anggota Komisi VIII DPR RI mengkritisi Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang mengatur tentang penggunaan seragam sekolah peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Daerah (Pemda) yang terkait kekhususan agama, serta mengkritik SKB tersebut sebagai kebijakan yang tidak proporsional.

HNW menyayangkan kebijakan yang berpotensi menimbulkan kontroversi ini justru dihadirkan ketika banyak sekolah belum bisa menyelanggarakan belajar tatap muka yang mengakibatkan banyak pihak khawatir akan kualitas belajar dan mengajar. Apalagi, ditambah dengan semakin banyaknya korban Covid-19 dan kejahatan terhadap anak-anak usia sekolah.

Menurutnya, pemerintah bukan fokus menyelesaikan masalah-masalah itu, tetapi justru menghadirkan kebijakan yang berpotensi menciptakan persoalan baru.

“Ini bukan SKB yang diperlukan untuk atasi masalah pendidikan dan dampak negatif dari pandemi Covid-19, terutama untuk para anak usia sekolah. Dan jelas, kebijakan ini sangat tidak proporsional,” ujar dia di Jakarta, Jumat (5/2/2021).

HNW menilai bahwa kehadiran SKB yang diterbitkan bersama antara Mendikbud, Menag dan Mendagri, tidak mempertimbangkan secara komprehensif realitas dan aspek lokalitas yang ada di masyarakat masing-masing daerah di Indonesia yang beragam, yang diakui oleh UUDNRI 1945 sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika.

“Karena memang banyak daerah yang adat-istiadatnya terintegrasi dengan ajaran agama, seperti di Sumatera Barat atau Banten. Bukan hanya di Aceh yang dikecualikan dalam SKB tersebut (diktum no 6),” ujarnya.

Lebih lanjut, HNW mengatakan masyarakat tentu akan mengkaitkan penerbitan SKB ini dengan peristiwa yang terjadi di Kota Padang, beberapa waktu lalu, dimana ada siswi non muslimah yang merasa diwajibkan mengenakan jilbab. Padahal tidak ada ketentuan Perda yang mewajibkan siswi non muslimah untuk berjilbab. Banyak siswi non Muslimah di Padang juga sudah memberikan kesaksian bahwa kalaupun mereka berjilbab saat ke sekolah, itu karena pilihan mereka, bukan karena pemaksaan oleh Sekolah. Persoalan inipun sudah selesai, dengan diperbolehkannya siswi non muslimah tersebut untuk tidak mengenakan jilbab yang menjadi seragam sekolah negeri di Padang.

“Masalahnya pun sudah selesai. Kebijakan toleransi dan tidak mewajibkan sudah dilakukan. Karena sejak dari awal memang dalam Perda itu tidak ada pewajiban berjilbab bagi sisiwi non-muslimah. Dan memang seharusnya begitu, karena Islam memang melarang adanya pemaksaan dalam beragama. Lalu, sekarang, mengapa aturan yang mencerminkan adat istiadat Minang yang konstisuional dan bersendikan syara (Agama Islam) itu harus dipersoalkan kembali? Dan malah diminta untuk dicabut, dan ada ancaman bila tidak dicabut. Ini tidak proporsional, dan sangat tidak mendidik, dan tidak sesuai dengan konstitusi,” tegas HNW

Meski begitu, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini secara objektif juga menilai ada poin yang bagus dan perlu didukung dari SKB Tiga Menteri tersebut, yakni poin yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dan sekolah juga tidak boleh melarang peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan untuk mengenakan seragam dengan kekhasan agama tertentu. Karenanya tidak boleh ada pelarangan pengenaan pakaian/atribut sekolah yang sesuai dengan ajaran Agama seperti jilbab sebagaimana yang pernah terjadi di Bali pada 2014 lalu dan di Manokwari (Papua) beberapa waktu lalu.

“SKB itu membuka ruang toleransi bagi yang Agamanya berbeda dg mayoritas siswa/masyarakat. SKB itu menghormati pilihan pribadi untuk memakai atau tidak memakai baju seragam sesuai dengan aturan. Tidak melarangnya, juga tidak mewajibkannya,” jelasnya.

Dengan visi seperti itu, HNW berpendapat bahwa Pemda atau Sekolah sewajarnya berwenang untuk mengatur seragam yang diberlakukan di sekolah. Dan bila perlu seragam yang dikenakan oleh para peserta didik bisa merujuk kepada adat budaya setempat, seperti yang pernah disampaikan oleh Nadiem Makarim Mendikbud yang membolehkan peserta didik mengenakan pakaian daerah.

“Yang perlu diingat adalah ada beberapa daerah, seperti Sumatera Barat dan Bali yang adat istiadatnya terintegrasi dengan ajaran Agama,” kata HNW.

Oleh karena itu, HNW berharap agar SKB Tiga Menteri itu segera direvisi, agar kebijakan yang diambil menjadi lebih proporsional, menjawab tantangan, dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) UUDNRI 1945, yaitu meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa. Dan berpakaian sekolah sesuai dengan kekhasan ajaran agama masing-masing, diharapkan bisa menjadi sarana untuk kuatkan iman takwa dan aklak yang mulia dan mencerdaskan kehidupan berbangsa itu.

“Jadi memang seharusnya tidak ada paksaan bagi peserta didik untuk mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Namun, di sisi lain, jangan pula melarang Pemerintah Daerah atau Sekolah membuat aturan seragam yang mendekatkan peserta didiknya kepada iman, takwa dan akhlak mulia. Aturan tersebut seharusnya tetap diperbolehkan dengan tetap menghormati pilihan pelajar yg beragama lain untuk memilih berpakaian yang pantas, sebagai bentuk pemahaman dan praktek ajaran Konstitusi dan Agama terkait toleransi, moderasi, inklusifitas, serta cinta bangsa dan negara,” pungkas HNW.(faz/lim)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Sabtu, 27 April 2024
26o
Kurs