Selasa, 16 April 2024

Dinas Koperasi dan Perdagangan: Pengrajin Tempe dan Tahu di Surabaya Ikut Mogok karena Solidaritas

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi tempe. Foto: Dokumen suarasurabaya.net

Devie Afrianto Kepala Bidang Perdagangan Dinas Koperasi dan Perdagangan Kota Surabaya mengatakan, para pengrajin tahu dan tempe pada akhirnya turut tidak berproduksi sebagai bagian dari aksi mogok produksi asosiasi pengrajin tempe dan tahu se-Indonesia.

“Jadi sebenarnya ini bukan hilang (stok tempe dan tahu), sengaja disimpan mungkin,” kata Devie ketika mengudara di Radio Suara Surabaya, Selasa (22/2/2022).

Dia mengatakan, berdasarkan informasi yang dia dapat dari Kementerian Perdagangan, stok kedelai sebagai bahan baku tempe dan tahu yang ada saat ini memang sedang mengalami kelangkaan secara global. Salah satu sebabnya, karena negara penghasil utama kedelai gagal panen akibat diterpa Badai La Nina.

“Di sisi lain, kebutuhan kedelai ini makin tinggi. Ada penggunaan energi alternatif karena krisis energi di Eropa, yang mana salah satu bahannya kedelai. Ini juga memengaruhi suplai kedelai yang makin terbatas. Kalau di Surabaya, kalau kita ngomong kedelai, tidak bisa dipisahkan dari pengusaha tahu dan tempe. Kebutuhan terbesar di sini,” ujarnya.

Dinas Koperasi dan Perdagangan Surabaya, menurut Devie, sebelum fluktuasi stok seperti sekarang sebenarnya sudah cukup intens melakukan komunikasi dengan pengusaha tempe dan tahu yang ada di Surabaya. Baik di Tenggilis Mejoyo maupun di Sukomanunggal.

“Waktu itu kami sampaikan, apakah pasokan susah? Apakah harga kulakan tinggi? Menurut mereka, sebenarnya kondisinya cukup kondusif. Kulakan mudah, harganya juga masih kompetitif. Lalu tanggal 18 kami sempat komunikasi soal isu mogok, mereka bilang tidak menjadi bagian dari itu,” katanya.

Terakhir, kata Devie, Selasa siang tadi dirinya juga sempat berkomunikasi dengan para pengusaha tempe dan tahu di dua lokasi tersebut. Sebab, ternyata mereka tidak berproduksi. Saat dia tanya kenapa, dia mendapat jawaban yang mengarah pada aksi solidaritas.

“Siang tadi kami sempat komunikasi juga. Kami tanyakan, kenapa tidak produksi? Arahnya lebih ke solidaritas tadi. Kami komunikasi supaya mereka segera berproduksi, karena kebutuhannya juga tinggi,” ujarnya.

Devie mengatakan, para pengrajin tempe dan tahu di dua lokasi di Surabaya itu sempat menyampaikan, bagaimana yang mereka maksud dengan situasi yang kondusif. Salah satunya bahan baku kedelai yang tidak terlalu tinggi selisihnya dengan harga eceran tertinggi (HET) dari pemerintah.

“Harga kulakan kedelai kalau kami dapat informasi dari teman-teman pengrajin itu, dari Tenggilis karena kulaknya agak besar sekitar 7 ton mereka dapat harga Rp10.500 per kilogram. Sedangkan di Sukomanunggal kulaknya lebih sedikit, sekitar 5 ton, mereka dapat harga sekitar Rp11.000 sekian. Tapi pasokannya aman, harganya juga masih kompetitif dibandingkan HET yang Rp9 ribuan,” katanya.

Devie mengakui, masalah kedelai itu sebenarnya pada ketergantungan impor. Secara nasional, 80-90 persen kebutuhan kedelai dalam negeri diimpor dari sejumlah negara. Sementara, produksi lokal kedelai dalam negeri kurang diminati para pengrajin tahu dan tempe.

“Jadi, fokus teman-teman pengrajin itu karakteristik kedelai impor itu sendiri untuk produk mereka. Warnanya putih, rasanya harus gurih. Nah kedelai lokal kita itu, mungkin karena prosesnya beda, belum bisa memenuhi kebutuhan teman-teman pengrajin ini,” ujarnya.(den/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Selasa, 16 April 2024
30o
Kurs