Jumat, 26 April 2024

TII: Kasus Suap Hakim Agung MA Bukti Mafia Hukum Indonesia Berlipat Ganda

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Firli Bahuri Ketua KPK saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, terkait penetapan 10 tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA), Jumat (23/9/2022). Foto: Antara

Alvin Nicola Program Director Transparency Internasional Indonesia (TII) menyebut, ditetapkannya Agung Sudrajat Dimyati Hakim Agung MA (Mahkamah Agung) sebagai tersangka kasus suap oleh KPK, jadi indikasi bahwa mafia hukum di Indonesia masih banyak dan berlipat ganda. Selain itu, juga membuktikan bahwa pengurusan perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali dalam pengadilan, masih rawan praktik korupsi.

“Catatan kami dari 2012 sampai 2018 lalu, ada 30 aparatur pengadilan yang terjerat kasus korupsi. Mayoritasnya tentu banyak Hakim yang terjerat,” jelasnya pada program Wawasan Radio Suara Surabaya, Senin (26/9/2022) pagi.

Program Director TII itu juga menjelaskan bahwa fenomena hukum yang korup di Indonesia sudah seperti mencairnya gunung es. Saat sudah terungkap satu kasus, akan terungkap jaringan mafia hukum yang lebih luas/besar.

“Kalau ini Hakim Agung yang tertangkap, artinya magnitude dan jaringannya (mafia hukum) semakin besar, karena melibatkan orang-orang penting di jabatan pengadilan, mulai dari Panitera, Hakim Yustisial, staf pengadilan, bahkan sampai juru ketik perkara sekalipun,” ungkapnya.

Praktik mafia hukum di MA, kata dia, menimbulkan inkonsistensi putusan perkara dari para Hakim, mulai dari yang pertama hingga kasasi, karena adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu. Dia mencontohkan vonis Edhy Prabowo mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dan dibebaskannya Syafruddin Temenggung dalam terkait kasus BLBI, yang terlihat memiliki disparitas antara putusan pertama, dengan banding dan kasasinya.

“Implikasinya makin deras kalau pengajuan perkara korupsi ke tingkat kasasi, diharapkan para pelaku (koruptor yang punya pengaruh besar dan uang) agar tidak terlalu memberatkan mereka, karena bisa jadi ada intervensi,” jelasnya.

Selain itu, Alvin menjelaskan kalau tren vonis yang semakin ramah/ringan terhadap para pelaku korutor juga bisa jadi dikarenakan praktik mafia hukum tersebut. Tapi, MA sejatinya sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma), namun sejauh ini dianggap jarang dimanfaatkan oleh para Hakim. Keterlambatan proses salinan putusan, kata dia, juga jadi celah baru untuk praktik suap/korupsi para hakim.

“Apalagi praktik keterbukaan di pengadilan tingkat pertama dan banding, jauh lebih baik daripada proses di MA yang cenderung tertutup, dan tidak bisa diakses publik maupun temen-temen jurnalis. Ketertutupan ini, bisa jadi mungkin dimanfaatkan beberapa pihak untuk proses negosiasi dan sebagainya,” ungkapnya.

Keterlambatan proses salinan putusan, kata dia, juga jadi celah baru untuk praktik suap/korupsi para hakim.

Kedepan, Alvin berharap agar ada peran Presiden untuk ikut mengevaluasi secara menyeluruh bukan hanya di pengadilan tapi semua proses penegakan hukum. Karena, kasus suap bisa jadi penghambat keinginan Presiden mengundang investor dari luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia.

“Bayangin aja, kalau ada investor mau nanam saham, tapi negara kita masih rawan suap. Pasti pikir-pikir lagi karena ada biaya tambahan untuk memenuhi suap tadi. Tapi sekali lagi, evaluasinya Presiden hanya sebatas melihat performa lembaga, bukan ikut terlibat di dalamnya,” ujarnya. (bil/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 26 April 2024
31o
Kurs