Senin, 14 Oktober 2024

50 Tahun Menanti Relokasi Kampung Tengah Jalan Taman Pelangi

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Mujiono (biru) terduduk bersama tetangganya sesama lansia di bawah gapura sisi timur Kampung Jemur Gayungan RT 1 RW 3 di tengah padatnya lalu lintas Jalan Ahmad Yani disebelahnya, Senin (30/11/2023). Foto: Billy suarasurabaya.net

Sore baru saja turun di Surabaya, saat Mujiono duduk di bangku panjang yang ada di depan rumahnya.

Seperti hari-hari lainnya, pria 75 tahun itu keluar rumah untuk merasakan hangatnya matahari sebelum petang menjemput. Tapi hari Senin sering kali kondisinya beda. Dari tempat duduknya, Mujiono mendengar bising mesin dan klakson yang bersahutan.

Mbok yo sabar (Ya yang sabar–Red),” gumam Mujiono pada lalu lalang kendaraan yang nampak serobotan untuk bebas dari macet.

Bagi Mujiono, pemandangan itu sudah dia saksikan hampir lima puluh tahun terakhir hidupnya. Pasalnya, pintu rumahnya hanya berjarak kurang lima meter dari bahu jalan Raya A. Yani Surabaya yang mengarah ke luar kota (Sidoarjo).

Keseharian itu tak dilaluinya sendirian. Hampir semua tetangganya, yang tinggal di gang sepanjang sekitar 50 meter di pusat keramaian dan kemacetan tersebut juga merasakan demikian.

Ya, Mujiono merupakan satu dari setidaknya 200 jiwa tersisa yang meninggali Kampung Jemur Gayungan RT 1 RW 3. Sekarang, lebih sering kita dengar dengan sebutan “Kampung Tengah Jalan Taman Pelangi” atau “Kampung Bundaran Dolog”.

Potret gang Kampung Jemur Gayungan RT 1 RW 3 sepanjang kurang lebih 50 meter yang membentang dari timur ke barat, Senin (30/10/2023). Foto: Billy suarasurabaya.net

Sebutan itu tentu tidak asal muncul. Bagaimana tidak, di wilayah seluas tiga hektare yang ditempati total 37 kartu keluarga (KK) itu, warganya hidup di gang kecil yang diapit dua jalan utama penghubung Surabaya-Sidoarjo. Baik dari sisi timur, maupun sisi barat.

Sakjane wes gak layak lah lek ditempati, gak layak lah jelas (sebenarnya sudah tidak layak kalau ditinggali). Ningali kebisingane (kalau tahu kebisingannya), apalagi setiap malam minggu sepeda motor brong-brongan niku (knalpot brong itu), luar biasa (berisik), Mas. Jadi ya pun terpaksa mawon, sakjane pun mboten layak (sudah terpaksa sekali, sebenarnya sudah tidak layak).” kata Mujiono saat dikunjungi suarasurabaya.net, Senin (30/10/2023) sore.

Saat kami mengobrol, Mujiono yang tak lagi muda, mengencangkan suara supaya tak kalah dari bunyi bising para pengguna jalan. Tempat kami mengobrol, atau kampung ini, berada di tengah jalan Raya A. Yani yang bersinggungan dengan Jalan Jemursari di timur dan Jalan Gayung Kebonsari di barat.

Sembari menggarukkan jari-jemari ke sedikit rambut di kepalanya, ayah empat anak itu mengenang saat bersama orang tuanya pertama kali pindah ke Surabaya tahun 1960-an. Kondisi Jalan Raya Ahmad Yani belum terpecah seperti sekarang.

Bahkan lahan di sisi utaranya yang sekarang ini menjadi Markas Besar Kepolisian Daerah Jawa Timur (Mapolda Jatim), bentuknya masih berupa hamparan sawah.

“Jalan ini pun dulu sebelah timur mawon mboten enten separuhe (sebelah timur saja tidak ada separuhnya–Red). Mobil sek jarang-jarang, kulo sek cilik ae sampe (mobil lewat masih jarang sampai saya waktu kecil) duduk di tengah-tengah jalan. Tasik oplet mawon sing liwat (hanya angkot saja yang lewat–Red),” tuturnya.

Sampai akhirnya, di era pemerintahan Soeharto Presiden kedua RI pada tahun 1970-an, mulai dilakukan proyek pelebaran jalan. Tepatnya, di sekitaran Jalan Raya Ahmad Yani untuk memecah kemacetan, seiring betumbuhnya ekonomi.

“Waktu dibangun itu memang ada penggusuran cuman buat jalan gitu tok woro-woronya (begitu saja pemberitahuannya). Zaman pak Harto itu per meter, tanah dihargai mau tidak mau cuma seribu rupiah. Kurang lebih tahun 1970-an,” ucapnya.

Lah niku, wong podo nangis kabeh (lha itu, semua orang menangis–Red). Lah yaknopo mboten nangis, tanah dihargai cuma sewu per meter (lha gimana tidak nangis, tanah hanya dihargai seribu per meter–Red),” imbuhnya.

“Kalau tidak mau dengan harga itu, bisa mengganggu jalannya Repelita (rencana pembangunan lima tahun). Ya.. terpaksa jenenge rakyat, nurut apa kata pemerintah. Katah wong mriki seng asline sugih dadi melarat (banyak orang sini yang aslinya kaya jadi miskin–Red). Karena harus pindah rumah,” sambungnya.

Hari-hari berlalu hingga tahun berganti dekade, pembebasan lahan demi lahan tak terhindarkan di sisi Barat RT 1 Kampung Jemur Gayungan. Akibatnya, kawasan tersebut terbelah jadi dua, sehingga muncullah sebutan “Kampung Tengah Jalan”.

Potret pintu masuk sisi barat Kampung Jemur Gayungan RT 1 RW 3 tepatnya depan Bulog Ahmad Yani Surabaya, Kamis (9/11/2023). Foto: Billy suarasurabaya.net

Sampai akhirnya tahun 1995, muncul wacana dari pemerintah untuk merelokasi seluruhnya warga tersisa yang tinggal di Jemur Gayungan RT 1 RW 3.

Sayangnya, kata Mujiono, hingga detik ini hanya jadi wacana yang tak kunjung terealisasi. Bahkan menurutnya selama 28 tahun terakhir sejak 1995, hanya jadi isu rutinan jelang masuk tahun politik.

Padahal, kata pria yang juga pernah jadi Ketua RT di wilayah setempat itu, dia bersama warga yang tersisa di Jemur Gayungan RT 1 RW 3 sudah bersedia pindah, kalaupun pada akhirnya lahan yang ditinggalinya memang dibutuhkan untuk pembangunan. Tentunya, dengan ganti rugi lahan yang lebih manusiawi.

“Nggeh harapane paling tidak kepingin lah supaya Pemerintah Kota Surabaya itu supaya cepet-cepet lah, kalau bisa dilaksanakan pembongkaran itu. Mulai mbien diajukan (relokasi) tapi nyatane sampe saiki mboten blas dilaksanake (mulai dulu diajukan relokasi tapi kenyataannya sampai sekarang tidak dilaksanakan–Red),” ungkapnya.

Yawes kulo mugi-mugi dikeki panjang umur mawon, ben iso ndelok relokasi kedaden (ya sudah semoga dikasih panjang umur, supaya bisa melihat relokasi jadi kenyataan–Red),” tutupnya.

Isu pembebasan lahan kampung tengah jalan itu sebelumnya kembali mencuat, usai Pemerintah Kota Surabaya berencana membangun flyover (jalan layang) atau underpass (jalan bawah tanah) untuk memecah kepadatan di Bundaran Taman Pelangi Jalan Ahmad Yani pada tahun depan.

Bahkan, Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Kota Surabaya meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur ikut membantu pembangunan itu supaya cepat terlaksana.

Baktiono Ketua Komisi C DPRD Surabaya mengatakan, pihaknya berharap rencana pembangunan underpass di kawasan Bundaran Dolog A Yani segera direalisasikan untuk mengurai tingkat kemacetan.

“Kami sudah usulkan sekitar lima tahun lalu, bersyukur jika Pemkot Surabaya segera merealisasikannya. Namun kami harap, Pemprov Jatim ikut turun tangan membantu anggarannya,” katanya 3 November 2023 lalu.

Aning Rahmawati Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Surabaya menambahkan, pembangunan underpass itu bisa mengurangi 25 titik kemacetan yang ada.

“Area Taman Pelangi sudah lama skali, tentunya Pemkot harus memberikan perhatiannya serius,” tandasnya.

Sementara dari pihak Pemerintah Kota, mengaku kalau rencana tersebut masih dalam tahap pembahasan karena secara keseluruhan biaya akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN).

“Insyaallah masih kami sampaikan antara itu (flyover) atau underpass. Namun yang pasti 2024 masih diskusi biayanya,” jelas Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya dalam sebuah wawancara dengan awak media, akhir Oktober 2023.

Dari Kampung Tengah Jalan kita belajar, hidup dengan ketenangan, menjadi salah satu kemewahan di tengah hiruk pikuk keramaian perkotaan. (bil/ham)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Teriknya Jalan Embong Malang Beserta Kembang Tabebuya

Bunga Tabebuya Bermekaran di Merr

Kebakaran Pabrik Plastik di Kedamean Gresik

Surabaya
Senin, 14 Oktober 2024
36o
Kurs