Kamis, 16 Mei 2024

Pakar Sebut Pemilu Seharusnya Berjalan Damai dan Penuh Senyum

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi Pemilu 2024. Foto: Grafis suarasurabaya.net

Joko Widodo Presiden berharap proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 berjalan dengan penuh kegembiraan. Presiden menginginkan pesta demokrasi lima tahunan tersebut berlangsung tanpa ada ujaran kebencian, hoaks, dan saling fitnah di media sosial.

Hal tersebut disampaikan Jokowi pada momen syukuran 1 Abad NU dan 25 Tahun PKB di Stadion Manahan, Surakarta, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (23/7/2023) lalu.

Mantan Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta itu menekankan, Pemilu seharusnya tidak boleh ada ketakutan dan pertengkaran.

Menurut Jokowi, perbedaan pilihan dalam pesta demokrasi adalah hal lumrah. Perbedaan itu harus direspons dengan damai, tanpa pertengkaran atau saling menjelekkan.

Menanggapi hal tersebut, Kacung Marijan pakar politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menyatakan, apa yang disampaikan Jokowi adalah sebuah kewajaran.

Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, Jokowi tentu berharap Pemilu tahun depan berlangsung damai dan tidak ada gontok-gontokan.

Apa yang disampaikan Jokowi, menurut Kacung, adalah imbas fenomena politik yang terjadi di Pemilu 2019. Ketika itu publik seakan terbelah. Ada “kampret”, ada “cebong”. Walaupun ketegangan lebih banyak di media sosial (medsos), tapi itu juga menguras energi masyarakat.

“Saya kira presiden menyadari hal itu. Banyak persoalan yang harus diselesaikan di negeri ini. Kalau kita disibukkan hal-hal yang kurang perlu, itu tidak baik,” kata Kacung dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya pada Rabu (26/7/2023) pagi.

Mantan Direktur Jenderal Kebudayaan (Ditjenbud) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2012-2015 itu menyebut, proses memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan adalah hal lumrah dalam politik praktis.

Tapi, sepatutnya proses memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dilakukan tanpa kekerasan. Artinya, harus dilakukan secara damai.

“Pertarungan dan kompetisi itu hal biasa. Tapi, bagaimanapun kompetisi itu harus dilakukan sambil tersenyum,” tegasnya.

Kekerasan yang dimaksud Kacung bukan sekadar kekerasan fisik saja. Tapi juga non fisik. Saperti saling menyinggung masalah agama atau ras hanya karena berbeda pilihan. “Itu yang tidak boleh,” tegasnya.

Dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya itu pula para pendengar menyebut kegaduhan di Pemilu 2019 disebabkan banyak hal. Mulai dari buzzer di medsos, media, hingga lembaga survei.

Soal lembaga survei, Kacung menyebut wajar sebuah partai politik atau bakal calon presiden memakai jasa lembaga survei untuk mengetahui keinginan dan apa yang dibutuhkan pemilih, sekaligus mengukur elektabilitas partai atau calon tersebut.

Menjadi masalah kalau lembaga survei melakukan manipulasi data atau tidak objektif ketika mempublikasi hasil surveinya. Secara tidak langsung, mereka menanam bibit-bibit perpecahan masyarakat.

“Makanya literasi di masyarkaat harus kuat. Masyarakat harus kritis dalam menelaah berita atau data di media atau media sosial,” tegasnya.

Pria yang sekarang menjabat sebagai Wakil Rektor I di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) tersebut tidak menampik adanya buzzer yang digunakan untuk mengagungkan calon atau partai tertentu.

“Itu yang membuat ketegangan bertambah. Sekarang bagaimana menyiram api jangan dengan minyak, tapi dengan air,” terangnya.

Secara keseluruhan, Kacung menyebut tensi yang tersaji dalam Pemilu 2014 dan 2019 sebenarnya tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan negara lain.

“Kenapa? Pertentangan ini baru di level media sosial, tidak sampai terjadi pertumpahan darah. Di negara lain hingga ada pertumpahan darah,” ungkapnya.

Kepada para pemilih, Kacung menegaskan perbedaan pandangan politik adalah hal yang lumrah. Tidak perlu ditanggapi terlalu serius.

Apalagi para petinggi partai dan para bakal calon presiden (capres) juga tetap gayeng. Bahkan, disebut Jokowi, sering ngopi bareng.

Kacung menegaskan, cinta pada partai dan calon presiden tertentu tidak perlu terlalu berlebihan. Sehingga, patah hati dan frustrasinya juga tidak terlampau mendalam.

“Dugaan saya tensi pada Pemilu 2024 nanti akan berkurang. Sebab ada titik tengah. Yang ekstrem memang masih ada, tapi yang menuju ke tengah makin banyak. Apalagi ada anak-anak muda. Mereka juga realistis,” sebutnya.(saf/rid)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Kamis, 16 Mei 2024
25o
Kurs