Senin, 6 Mei 2024

Untuk Kembalikan Marwah MK, MKMK Perlu Ambil Keputusan di Luar Pertimbangan Normatif

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Jimly Asshiddiqie (tengah) Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberi keterangan di Gedung II MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023) malam. Foto: Antara Jimly Asshiddiqie (tengah) Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberi keterangan di Gedung II MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023) malam. Foto: Antara

Anang Zubaidy Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengatakan, Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sepatutnya tidak hanya berpegang pada aspek normatif dalam memutuskan perkara dugaan pelanggaran kode etik Anwar Usman Ketua MK.

Anwar Usman dan sejumlah Hakim Konstitusi dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik, karena dianggap memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka Wali Kota Solo untuk maju sebagai calon wakil  presiden di Pilpres 2024.

Permohonan yang dikabulkan adalah perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan itu menyatakan Pasal 169 UU Pemilu yang sebelumnya berbunyi berusia paling rendah 40 tahun, berubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Menurut Anang, MKMK juga perlu mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanfaatan dalam memutus perkara tersebut.

“Untuk bisa mengembalikan kepercayaan publik, maka MKMK harus membuat putusan yang out of the box, di luar pertimbangan normatif, lebih pada pertimbangan kemanfaatan dan keadilan,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (2/11/2023).

Ketika dasar pengambilan keputusan hanya normatif, Anang menilai putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal itu sekaligus meniadakan upaya hukum lain dan tidak lagi mekanisme untuk membatalkan putusan.

“Kalau berpikirnya normatif ya selesai, artinya tidak ada upaya hukum apa pun. Tapi, saya berpikirnya di luar itu. Hukum itu harus memberikan jalan keluar,” jelas pakar hukum tata negara itu.

MKMK, lanjut Anang, menjalankan peran sebagai hakim yang punya fungsi dan tugas utama untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik. Oleh sebab itu, kacamata yang digunakan semestinya tidak sekadar normatif.

“Karena kalau bicara kepastian hukumnya ya selesai. Kita tidak perlu mendiskusikan putusan itu mau diapakan? Tapi, kalau kita bicara dari aspek kemanfaatan dan keadilan, saya kira masih terbuka pintu diskusi, atau masih terbuka peluang untuk membatalkan putusan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Anang berharap MKMK juga menggunakan nurani untuk memutus perkara dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi.

“Mudah-mudahan majelis hakim MKMK itu bukan sekadar menggunakan kacamata normatif, tetapi juga menggunakan nuraninya untuk membaca fenomena ini, untuk membaca putusan, dan membaca dugaan konflik kepentingan dari kacamata keadilan dan kemanfaatan,” tegasnya.

Sementara itu, Violla Reininda Program Manajer Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bilang, publik menaruh kepercayaan dan harapan MKMK mengambil keputusan yang berani.

“MKMK fungsinya tidak hanya memutus dan mengadili perkara etik, tapi juga untuk menjaga keluhuran martabat dan kehormatan MK. Masyarakat dukung terus agar MKMK menghasilkan putusan penghukuman etik yang tegas dan berani,” katanya.

Putusan MKMK terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Anwar Usman Ketua MK, akan mengembalikan citra dan marwah MK.

“MKMK harus berani mengambil jalan activisme dengan memberikan sanksi selain etik, tetapi juga terkait legitimasi putusan MK tentang pengujian syarat usia Capres-Cawapres. MKMK perlu melakukan lompatan, karena daya rusak yang signifikan ke MK secara institusional akibat konflik kepentingan Anwar Usman yang amat terang dalam perkara ini,” timpalnya.

Sanksi yang diharapkan, yaitu (1) pemberhentian secara tidak hormat sebagai Ketua dan Hakim Konstitusi; (2) menyatakan Putusan 90/2023 batal demi hukum karena cacat secara formil.

“Atau setidaknya, meminta MKMK memerintahkan MK meninjau kembali putusan pengujian syarat capres dan cawapres tanpa melibatkan Hakim Terlapor,” tambah Violla.

Pasal 17 ayat (6) dan (7) UU Kekuasaan Kehakiman,m bisa jadi referensi MKMK untuk menginvalidasi putusan syarat usia, terutama ketika diputus melakukan pelanggaran berat.

“Ini kondisi yang luar biasa karena melibatkan pucuk pimpinan MK yang punya peran strategis dan aktif dalam memuluskan agar perkara dikabulkan. Pasal itu bisa diimplementasikan ke MK karena termasuk ke bab asas-asas kekuasaan kehakiman yang mengikat baik MA mau pun MK,” pungkas Violla. (rid/ham)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Senin, 6 Mei 2024
31o
Kurs