Minggu, 7 September 2025

Ahli Sebut Jumlah Juru Bahasa Isyarat di Indonesia Masih Sangat Terbatas

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi bahasa isyarat. Foto: iStock

Profesi Juru Bahasa Isyarat Indonesia (JBI) di Indonesia hingga kini masih sangat terbatas jumlahnya. Padahal, kebutuhan untuk mendukung aksesibilitas komunikasi teman-teman tuli terus meningkat di berbagai sektor, baik pemerintah maupun swasta.

Hal ini disampaikan Yanda Maria Elsera Sinaga, Juru Bahasa Isyarat (JBI) Indonesia Bisindo Surabaya. Menurutnya, jumlah JBI yang ada saat ini belum sebanding dengan jumlah penyandang tuli di Indonesia.

“Bisa dibilang harapannya kan juru bahasa isyarat itu satu bisa untuk satu teman tuli. Tapi ternyata jumlahnya sangat sedikit sekali dengan jumlah tuli yang sangat banyak, cuma dua persen ibaratnya dari jumlah teman tuli. Jadi memang masih sangat kurang sekali,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya, Minggu (7/9/2025).

Menurut Yanda, meski ada beberapa perusahaan dan instansi yang sudah mulai inklusif dengan menyediakan JBI, akses terhadap dunia kerja bagi teman tuli tetap terbatas.

“Ada beberapa perusahaan yang sudah inklusi, saya pernah dampingi waktu wawancara. Tapi memang belum secara penuh karena ada aturan dari Dinas Tenaga Kerja itu harus membuka kesempatan dua persen untuk ASN dan 1 persen untuk swasta. Cuman memang belum ada punishment-nya kalau perusahaan enggak membuka kesempatan itu,” jelas Yanda.

Menurutnya, peminatan terhadap profesi sebagai JBI tidak besar. Ia mencontohkan perjalanannya yang menjadi JBI bahkan bermula dari keterlibatan sebagai relawan di Pusat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, Malang.

“Dulu itu saya kuliah di Universitas Brawijaya Malang. Saya itu mendaftar menjadi volunteer, kebetulan mendampingi teman-teman disabilitas. Nah, saya itu lebih cocok dengan teman Tuli. Akhirnya ada teman Tuli yang rekomendasi, saya maunya didampingi untuk satu semester sama Yanda. Padahal saya masih dasar-dasar, hanya sekadar bisa komunikasi. Dari situ akhirnya saya terpaksa untuk belajar karena harus komunikasi sama mereka,” cerita Yanda

Ia mengakui, meski awalnya merasa belum mampu, keterbatasan jumlah JBI membuat dirinya terus dipercaya. Bahkan, saat ini dia sudah delapan tahun menekuni profesi sebagai JBI.

“Memang dulu itu sangat sedikit sekali yang belajar bahasa isyarat. Jadi karena enggak ada yang bisa, akhirnya saya dianggap yang paling bisa, padahal saya merasa belum mampu. Tapi sampai sekarang saya terus belajar,” ungkapnya.

Menurutnya, selama ini aksesibilitas komunikasi untuk penyandang tuli lebih banyak difokuskan di media atau layanan publik, sementara pendidikan formal masih tertinggal.

“Di sekolah-sekolah pun, walaupun itu sekolah luar biasa, tidak ada pendidikan kurikulum terkait bahasa isyarat. Jadi harapannya ke depan bukan hanya aksesibilitas untuk media, tapi komunikasi secara nyata bisa dilakukan langsung sama teman-teman Tuli. Jadi mereka enggak merasa tertinggal atau termarginalkan,” jelasnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Minggu, 7 September 2025
32o
Kurs