Diskusi dan bedah buku Reset Indonesia karya Farid Gaban, Dandhy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu berlangsung di Surabaya pada Sabtu (27/12/2025).
Dandhy Laksono mengatakan, buku tersebut ditulis setelah menjalani tiga ekspedisi, yakni Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa (2009-2010), Ekspedisi Indonesia Biru (2015-2016) dan Ekspedisi Indonesia Baru (2022-2023). Selama melakukan perjalanan keliling tanah air, ia merasa bahwa Indonesia sudah ibarat rumah rusak yang tidak bisa dibenahi lagi, sehingga sebagian besar harus dibongkar untuk dibangun ulang dengan yang baru.
“Ibarat kalau rumah bocor, ditambal sedikit, nanti bocor lagi. Rumah sudah miring, dimakan rayap, ditambal-tambal, nanti akan jugruk lagi. Jadi kami berkesimpulan bahwa tidak mungkin bisa membenahi Indonesia. Indonesia sudah terlalu parah, sehingga kami pikir harus dibangun ulang, direset. Ibaratnya rumah 90 persen diambrukkan dulu,” katanya.
Reset Indonesia, kata Dandhy, sangat mendesak, karena jika tidak ada perubahan, masalah-masalah seperti yang saat ini terjadi di Sumatera bisa berulang. Apalagi dalam hal bencana, sebelumnya juga sudah melanda daerah lain di Indonesia, salah satunya Kalimantan.
“Nilai ekonominya tidak ke rakyat, yang ke rakyat cuma bencana doang. Jadi surplus ekonominya justru ke satu persen orang, ke satu persen perusahaan, satu persen pihak yang diuntungkan. Sepuluh provinsi paling kaya tambangnya adalah juga sepuluh provinsi paling miskin di Indonesia. Bisa dicek, semua data yang ada,” jabarnya.
Dengan kondisi itu, ia memandang bahwa saat ini ada tujuh poin yang bisa menjadi solusi. Tiga di antaranya, yakni pertama harus memulai dengan hak atas tanah.
“Orang itu boleh tidak punya pekerjaan, orang itu boleh tidak punya keterampilan, tapi kalau punya tanah, dia bisa punya kreativitas di atas tanah itu,” kata dia.
Kedua, biodiversity di atas tanah harus dijaga, karena dari tanah tersebut akan tumbuh biodiversity yang akan menjamun kehidupan lebih baik, mulai dari airnya hingga udaranya.
Ketiga, pengelolaannya harus menggunakan sistem kooperasi. Menurutnya, saat ini sudah tidak eranya mengandalkan perusahaan-perusahaan besar.
“Jepang, Korea, itu mengembangkan UMKM-UMKM untuk mendukung industri otomotifnya. Indonesia ini kebanyakan mengandalkan konglomerat, kebanyakan mengandalkan usaha besar. Sedikit-sedikit membuka lapangan kerja untuk usaha besar, padahal yang kecil-kecil itu harus dirawat. Jadi kami pikir koperasi adalah salah satu solusinya, dan bukan koperasi merah putih,” ucapnya.
Untuk menjalankan itu semua, ia mengatakan bahwa harus dimulai dari diri masing-masing dengan merenungkan kembali dan mengubah cara berpikir.
“Kemudian perubahan sistem politik. Jadi dari yang kecil sampai besar itu harus dilakukan,” ujarnya.

Farid Gaban menambahkan bahwa kerusakan Indonesia saat ini sudah multidimensional. Menurutnya, kerusakan lingkungan di Aceh merupakan tanda kerusakan kebijakan publik, dari sisi hukum, politik hingga pembangunan yang salah arah.
“Itu sebabnya menjadi mendesak. Kalau tidak, situasi yang sama akan terjadi juga di daerah lain. Menurut kami tidak cuma Sumatera yang akan mengalami. Apa yang kami lihat kerusakan alam di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, itu semua akan juga mengikuti. Jadi ini harus mendesak ada satu perubahan,” tegasnya.
Sebagian besar masalah di Indonesia, kata Farid, berada di politik yang rusak. Ia menjelaskan bahwa politik berbicara tentang bagaimana public policy dirumuskan hingga diputuskan, sehingga menurutnya saat ini perlu perubahan dalam sistem politik.
“Di samping itu juga saya kira harus ada reformasi yang serius di kalangan aparat militer dan polisi, karena hukum juga rusak banget. Salah satunya adalah kerusakan di kepolisian dan itu harus reformasi total. Sebenarnya kita bahkan sudah terlambat, harusnya setelah Kanjuruhan itu reformasi kepolisian itu, tapi sampai sekarang seperti apa? Bahkan pemerintah sendiri seperti enggan,” bebernya.
Dalam diskusi dan bedah buku di Surabaya itu, diikuti oleh sebagian besar anak muda. Dengan kondisi itu, ia optimistis ke depan perubahan menuju perbaikan bisa dilakukan oleh anak-anak muda.
“Kepedulian mereka cukup besar ya untuk paham tentang politik, paham tentang kerusakan alam, tentang hukum,” ucapnya.

Dzikrullah salah satu peserta bedah buku asal Sidoarjo mengatakan bahwa buku Reset Indonesia sangat penting untuk membaca ulang Indonesia, termasuk lingkup yang lebih kecil seperti perkotaan, yakni untuk memahami bagaimana tata kelola yang baik.
“Termasuk bagaimana melihat bencana bukan soal bencana hidrometeorologi, tapi soal sistem dan kedadruatan ekologi,” ucapnya.
Setelah membaca, ia mengatakan bahwa buku tersebut bisa membuka perspektif yang luas tentang kontribusi terhadap negara dengan cara yang berbeda.
“Beda buku dan diskusi ini salah satu cara berkontribusi memajukan Indonesia. Apabila perlu, buku harus dibaca oleh semua kalangan. Semoga kontren kreator, komikus, atau ilustrator juga bisa menerjemahkan dengan bahasa anak-anak yang mudah dipahami,” ucapnya.
Salah satu peserta yang lain, Hurrun In Nikmah asal Surabaya mengatakan bahwa setelah membaca buku tersebut dirinya merasa bahwa memang banyak harus dibenahi di Indonesia, termasuk dari segi lingkungannya.
“Buku ini mengajak kita untuk mengetahui lebih dalam dan luas lagi permasalahan di Indonesia, sekaligus bagaimana mengatasinya,” ujarnya.
Seperti diketahui, buku Reset Indonesia yang dibuat oleh empat jurnalis tersebut dibedah dan diskusikan di puluhan Kota Kabupaten di Indonesia dalam rangkaian “Roadshow #ResetIndonesia Jalan-Jalan Ngobrolin Gagasan Indonesia Baru”. (ris/saf/iss)
NOW ON AIR SSFM 100
