
Observatorium Astronomi Sunan Ampel (OASA) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menggelar pemantauan hilal awal Ramadan 1446 Hijriah, Jumat (28/2/2025) sore hingga petang pukul 18.30 WIB.
Hasilnya, hilal di wilayah Surabaya tak terlihat akibat hujan yang mengguyur wilayah Surabaya Selatan sejak pukul 16.30 WIB.
Pantauan suarasurabaya.net di Twin Tower UINSA nampak sejumlah mahasiswa prodi Ilmu Falah UINSA dan tim pemantau hilal sudah memasang sejumlah peralatan teropong pemantau hilal.
Proses pemantauan hilal sempat ditunda karena hujan mengguyur wilayah tersebut. Kemudian kembali dilanjutkan sekitar pukul 17.30 WIB sesudah hujan reda.
“Mendung masih terjadi dan kita tunggu sampai bulan yang terbenam masih mendung. Jadi hasilnya kita Surabaya tidak bisa melihat hilal karena cuacanya mendung tebal,” ujar
Novi Sopwan Penanggung Jawab OASA UINSA.
Novi mengatakan posisi hilal dari pantauan Twin Tower UINSA menunjukkan posisi dengan ketinggian 3,7 derajat dan elongasinya 5,8 derajat.
Secara teoritis Novi menyebut posisi tersebut menunjukkan posisi hilal tidak mungkin bisa dilihat.
“Dengan tinggi 3,7 itu kita punya waktu sekitar 12 sampai 14 menit lah dari magrib sampai bulannya itu terbenam. Tadi kita tunggu cuacanya tidak menjadi baik dan hilalnya atau bulannya sudah terbenam. Jadi kita tidak bisa melihat hilal,” ungkapnya.
Sesudah pemantauan di Twin Tower UINSA Surabaya pada Jumat petang ini, pihaknya akan meneruskan laporan ke Kementerian Agama sebagai bahan pertimbangan dalam sidang isbat yang saat ini tengah digelar.
“Nanti akan kita buat laporan setelah selesai acara ini. Tapi secara secara digital langsung kita laporkan biasanya ya di grup, ada grupnya kita untuk melaporkan ini,” tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, apabila hilal tidak terlihat sore hingga petan ini, Syamsul Ma’arif
Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Jawa Timur menyebut keputusannya akan mengikuti sidang isbat Kementerian Agama dalam menentukan awal Ramadan.
“Laporan dari LFNU Cabang akan disampaikan ke PWNU Jawa Timur, kemudian ke PBNU, dan dibawa ke sidang isbat sebagai bahan musyawarah penetapan awal 1 Ramadan,” katanya.
Berdasarkan pengalaman penentuan Ramadan sebelumnya jika hilal belum terlihat, kata Syamsul, akan diberlakukan istikmal atau menggenapkan bulan Sha’ban menjadi 30 hari.
“Bilamana hilal tidak terlihat karena secara astronomi hilal masih rendah di bawah kriteria atau di bawah ufuk, maka nanti bisa menjadikan alasan istikmal atau menggenapkan bulan Sha’ban,” ucapnya.(wld/ris/iss)