Senin, 29 Desember 2025

Dosen PCU Sebut Tren Liburan Tipis-Tipis Tetap Dorong Ekonomi Daerah dan UMKM

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi Liburan. Foto: Freepik

Tren micro tourism atau libur tipis-tipis sedang jadi tren masyarakat, terutama di tengah keterbatasan waktu, biaya, hingga faktor cuaca yang tidak menentu. Konsep wisata jarak dekat dengan durasi singkat ini dinilai memberi dampak positif, tidak hanya bagi wisatawan, tetapi juga bagi perputaran ekonomi daerah.

Menurut Devi Destiani Andilas Program Koordinator Creative Tourism Petra Christian University (PCU), menilai kalau micro tourism justru memberi kontribusi nyata terhadap prinsip pariwisata berkelanjutan atau sustainability, khususnya dari sisi ekonomi.

“Pilar sustainability itu kan ada tiga, ekonomi, sosial budaya, sama lingkungan. Yang paling kelihatan jelas, kalau banyak orang melakukan mikro tourism atau wisata jarak dekat dalam waktu singkat, roda perekonomian daerah itu semakin kencang berputarnya,” jelasnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (29/12/2025).

Selain itu, ia menekankan bahwa micro tourism membantu mencegah kebocoran ekonomi daerah, karena belanja wisatawan cenderung terserap secara lokal.

“Jangan sampai kita perginya ke Bali tapi belanja-belanjanya produk luar negeri. Nah itu kan kebocoran ekonomi global. Tapi kalau kita bicara skop (ruang lingkup) yang lebih kecil, berarti kita nge-save (menyelamatkan) pendapatan daerahnya,” ujar Devi.

Meski demikian, terkait tren micro tourism, Devi menilai kemungkinan  tren ini tidak akan menjadi satu-satunya pola wisata dalam jangka panjang.

“Kenapa? Karena market tourism itu sangat dinamis. Ada banyak segmen, solo traveler, keluarga, wisata minat khusus. Mikro tourism itu diinisiasi karena keterbatasan biaya,” ujarnya.

Ia berharap ke depan perputaran ekonomi membaik sehingga masyarakat memiliki keleluasaan untuk berwisata lintas daerah, tanpa meninggalkan dampak positif bagi daerah asal maupun tujuan.

“Micro tourism ini saya harapkan multiplier effect-nya lebih besar. Bukan hanya untuk daerah sendiri, tapi untuk daerah lain juga,” kata Devi.

Sementara soal pengembangan destinasi, Devi menekankan pentingnya keseimbangan antara infrastruktur dan keberlanjutan lingkungan dengan mengedepankan 4A, yakni accomodation (akomodasi), accessibility (aksesibilitas), amenities (fasilitas), dan fancillary (layanan tambahan).

Namun ia mengingatkan, tidak semua destinasi perlu dibuka selebar-lebarnya. Contohnya destinasi yang sifatnya masih hidden gem, menurutnya perlu pembatasan.

“Nggak perlu juga aksesibilitasnya dibuat bagus banget, karena itu untuk menjaga sustainability lingkungannya,” tegasnya.

Lebih lanjut, dosen Creative Tourism PCU itu menyebut fenomena micro tourism tidak bisa dilihat secara tunggal, melainkan dipengaruhi banyak faktor yang saling berkaitan. Mulai dari faktor internal dan eksternal.

Faktor internal bisa berasal dari kondisi kesehatan, fase kehidupan seseorang, hingga ketersediaan dana. Sementara faktor eksternal meliputi kebijakan perusahaan terkait cuti, kondisi cuaca, hingga situasi sosial.

“Misalnya faktor internalnya dari kondisi kesehatan, terus kita ini berada di fase tahap family yang mana akan berbeda pengambilan keputusannya antara keluarga kecil dengan keluarga besar. Tentu orang-orang yang single itu akan berbeda. Tapi kalau faktor internal lainnya sudah pasti soal ketersediaan dana

Sedangkan dari sisi eksternal, Devi mencontohkan keterbatasan jatah cuti dari perusahaan hingga kondisi cuaca yang menjadi pertimbangan utama.

“Faktor eksternal misalnya kebijakan perusahaan, jatah cuti yang cuma sedikit. Terus belum lagi faktor eksternal lainnya kalau saat ini kayaknya kondisi cuaca ya. Jadi sebenarnya kalau melihat sebuah fenomena dari kacamata pariwisata itu multifaktor, bisa internal kombinasi eksternal, jadi sangat dinamis pengambilan keputusannya,” jelasnya.

Lebih jauh, Devi menilai agar wisata, termasuk micro tourism, menjadi lebih bermakna, wisatawan perlu membangun kesadaran atau mindfulness saat berlibur. Seperti, tidak terpapar gadget secara berlebihan.

Artinya, bisa mendekatkan yang jauh, bukan sebaliknya. “Jadi aktivitas wisata itu sebaiknya bisa lebih mindful. Kita lebih sadar untuk apa kita berwisata,” katanya.

Ia juga mengingatkan agar wisata tidak hanya menjadi aktivitas seremonial atau sekadar pamer di media sosial.

Menurut Devi, setiap orang memiliki motivasi wisata yang berbeda, mulai dari relaksasi, mempererat hubungan keluarga, hingga mengembangkan pengetahuan.

“Orang kan ada yang motivasinya untuk relaksasi, ada untuk strength family bonds (memperkuat) atau mendekatkan keluarga. Ada juga yang untuk mencari sesuatu yang baru. Jadi motivasi itu banyak banget,” jelasnya.

Ia mencontohkan, di musim liburan akhir tahun, wisata bersama keluarga seharusnya benar-benar dimanfaatkan untuk mempererat hubungan antaranggota keluarga.

“Kalau season (musim) Natal Tahun Baru ini banyak wisata bersama keluarga, berarti being mindful untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang pure (murni) bisa mempererat hubungan keluarga. Atau kalau motivasinya relaksasi dan refleksi diri, ya solo traveler sekalian gadget detox dan being mindful di tempat wisata itu,” katanya.

Terakhir, Devi mengajak masyarakat memaknai liburan dengan lebih sadar sekaligus mendukung ekonomi lokal. “Micro tourism itu salah satu penyelamat UMKM daerah, karena memicu belanja lokal yang lebih sering meskipun nilai transaksinya kecil,” pungkasnya.

Ia juga mengingatkan agar wisatawan memperhatikan ke mana uang mereka dibelanjakan. “Liburannya ke mana, belanjanya ke mana. Usahakan rumah-rumah lokal, usaha-usaha lokal, supaya ekonomi daerah benar-benar bergerak,” pungkas Devi. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Senin, 29 Desember 2025
34o
Kurs