
Kota Surabaya akan memasuki usia ke-732 dalam peringatan Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) yang jatuh pada 31 Mei 2025 mendatang. Beragam kegiatan telah disiapkan sepanjang bulan Mei, mulai dari Surabaya Shopping Festival, festival budaya, pameran, hingga karnaval, semua digelar untuk memeriahkan ulang tahun kota.
Dipilihnya tanggal 31 Mei untuk diperingati sebagai sebagai HJKS bukan tanpa alasan. Prof. Purnawan Basundoro Guru Besar Sejarah Perkotaan di Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menjelaskan, dipilihnya tanggal itu mengacu pada pengusiran tentara Tartar oleh Raden Wijaya.
“Jadi itu mengacu kepada peristiwa pengusiran tentara Tartar oleh Raden Wijaya yang itu diperkirakan tanggal 31 Mei tahun 1293. Nah itu oleh Panitia Penetapan Hari Jadi itu yang ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Karena memang itu adalah sebuah tanggal yang sangat bersejarah dan itu nanti berdekatan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit,” jelas Prof Basundoro saat mengisi program Semanggi Suroboyo di Suara Surabaya, Jumat (9/5/2025).
Menurutnya, keberhasilan Raden Wijaya mengusir tentara Tartar yang berupaya menjajah Kerajaan Singosari kala itu lah, yang kemudian menjadikan simbol Surabaya sebagai kota yang terhindar dari bahaya Suro Ing Boyo.
Dalam paparannya, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unair itu juga menyoroti perjalanan panjang identitas Kota Surabaya. Ia menyebutkan, sejak dahulu kota ini dikenal memiliki budaya arek, sebuah karakter egaliter yang menjunjung tinggi gotong-royong dan solidaritas antar sesama.
Karakter itu, menurut dia, berulang kali muncul dalam sejarah, terutama dalam momen-momen perlawanan terhadap penjajahan. “Budaya arek itu adalah kegotong-royongan dan solidaritas yang tinggi,” kata Prof Basundoro.
Ia merinci setidaknya ada tiga tonggak sejarah yang memperkuat identitas Surabaya sebagai kota pejuang. Pertama, pada abad ke-17 saat masyarakat Surabaya mempertahankan wilayahnya dari serangan Kesultanan Mataram.
Kedua, awal abad ke-20 ketika warga melawan penguasaan tanah partikelir oleh Belanda. Ketiga, puncaknya pada 10 November 1945 saat pertempuran heroik melawan tentara Sekutu.
“Ini adalah contoh-contoh peristiwa bagaimana solidaritas dan kepahlawanan masyarakat Kota Surabaya itu muncul dalam aktivitas dalam periode-periode tertentu yang dianggap kritis ya terhadap Kota Surabaya itu,” terang Guru Besar Sejarah Perkotaan Unair itu.
Selain itu, ia juga mengingatkan peran penting sejumlah tokoh asal Surabaya dalam gerakan kebangsaan Indonesia, di antaranya Sutomo atau Bung Tomo hingga Ir. Soekarno Presiden Pertama RI.
“Perlu diingat bahwa pada awal abad ke-20 juga ada seperti Dr. Sutomo dan tokoh-tokoh lokal Surabaya yang itu juga bergerak dalam rangka untuk melawan penjajahan. Kita kenal juga Bung Karno itu juga ada di sini dan kemudian Pak Cokro. Ini adalah tokoh-tokoh yang menjadi simbol dari perlawanan rakyat Surabaya terhadap penjajah Belanda,” ungkapnya.
Sementara saat disinggung soal bagaimana wajah Surabaya sebelum era perlawanan, Prof Basundoro menjelaskan kalau sebelumnya kota ini dikenal dengan posisi strategisnya sebagai pelabuhan internasional sejak masa Majapahit.
“Yang pertama bahwa secara geografis Surabaya adalah kota pantai ya. Kota pantai yang ini menjadi pelabuhan yang sifatnya sudah internasional sebenarnya. Surabaya menjadi pintu masuk terhadap sebuah kerajaan besar, Kerajaan Majapahit itu. Sehingga Surabaya itu juga menjadi pelabuhan yang sifatnya internasional sebenarnya sejak dulu itu. Para pedagang dari berbagai negara, dari Arab, dari Eropa, dari India, dari China,” katanya.
Lebih lanjut, Prof Basundoro menegaskan, meski kisah Suro dan Boyo populer di masyarakat, unsur hewan dalam cerita itu lebih bersifat imajinasi dan legenda rakyat.
“Kalau hewannya, Suro dan Boyo itu adalah imajinasi atau mitos. Cerita-cerita rakyat yang muncul dari ya bisa saya sebut itu terkait dengan sejarah Kota Surabaya itu sendiri yang mengendap di dalam pikiran masyarakat dan kemudian menjadi cerita rakyat tentang berdirinya Kota Surabaya,” ujarnya. (bil/ipg)