
Tantangan utama dalam proses transformasi digital di Indonesia adalah masih adanya ketimpangan akses internet dan rentannya keamanan siber.
Dr Eko Wahyuanto dosen di Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Yogyakarta dalam artikelnya Telaah di Antara menjelaskan, International Mobile Equipment Identity (IMEI), nomor identitas unik berupa 15-17 digit yang tertanam dalam perangkat seluler, berfungsi sebagai tanda pengenal resmi pada sistem global. IMEI juga merupakan instrumen vital dalam melacak, memblokir, dan mengamankan ponsel dari ancaman pencurian, peredaran barang ilegal, hingga manipulasi identitas digital.
Di era dimana ponsel telah menjadi perpanjangan diri, IMEI menjadi pilar penting dalam menjaga keamanan ekosistem digital, mencegah penyalahgunaan, dan melindungi hak konsumen.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) merespons keluhan masyarakat terkait pencurian ponsel dan penyalahgunaan identitas melalui moda layan pendaftaran ulang dan pemblokiran IMEI secara sukarela. Inisiatif ini muncul dari realitas pahit di mana korban kehilangan ponsel sering menghadapi ancaman lanjutan, seperti penipuan atau kebocoran data pribadi. Langkah ini bukan hanya solusi teknis, tetapi juga wujud komitmen untuk memperkuat keamanan digital di tengah dinamika perkembangan teknologi yang kian kompleks.
Sistem IMEI diharapkan menjadi kunci dalam merebut kembali keamanan digital yang masih rapuh. Tanpa pengendalian IMEI yang efektif, ponsel hasil kejahatan tetap memiliki nilai ekonomis bagi pelaku, sementara pemilik sah terjebak dalam risiko penipuan, kehilangan data sensitif, hingga kerugian finansial yang signifikan. Bayangkan, skenario di mana ponsel hilang atau dicuri, dengan melaporkan IMEI ke Equipment Identity Register (EIR), perangkat dapat langsung dinonaktifkan. Jaringan seluler akan menolaknya, seperti tubuh menolak virus, sehingga ponsel menjadi tidak berguna bagi pelaku kejahatan.
Manfaat IMEI tidak berhenti di situ. Sistem ini mampu mencegah peredaran ponsel black market (BM) yang merajalela, melindungi konsumen dari perangkat tanpa garansi resmi, memastikan standar kualitas perangkat, serta mendukung aparat penegak hukum dalam menekan kriminalitas digital.
Di Indonesia, dimana pencurian ponsel menjadi masalah sehari-hari di kota-kota besar, IMEI berpotensi menjadi game changer. Bagi pengguna yang jujur, sistem ini menyerupai asuransi gratis: jika ponsel hilang, cukup laporkan untuk diblokir; jika ditemukan, aktifkan kembali. Namun, optimisme harus diimbangi dengan kewaspadaan.
Pengalaman pada 2019-2020 menjadi pelajaran penting, upaya pemblokiran IMEI justru memicu kekacauan. Ribuan ponsel legal terblokir akibat kesalahan data, mengganggu rantai produksi dan penjualan pabrikan besar, serta menciptakan ketidakstabilan pasar. Kejadian ini menggarisbawahi pentingnya perancangan sistem yang cermat, terutama dengan pendekatan sukarela, seperti saat ini.
Integrasi IMEI dengan database nasional, seperti Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), menjadi solusi potensial untuk verifikasi identitas yang akurat. Hanya saja, langkah ini harus diimbangi dengan perlindungan privasi yang ketat untuk mencegah kebocoran data, yang dapat dimanfaatkan untuk pelacakan ilegal atau serangan siber, seperti IMEI spoofing atau cloning.
Pengalaman Global
Di Amerika Serikat dan Kanada, database blacklist IMEI yang dikelola melalui Global System for Mobile Communications Association (GSMA) menghubungkan operator, seperti T-Mobile dan Verizon dengan mitra global. Hasilnya, ponsel curian menjadi tidak berguna lintas benua, menekan angka pencurian, hingga puluhan persen.
Inggris, Australia, dan Selandia Baru mengadopsi pendekatan serupa, melalui Central Equipment Identity Register (CEIR), memastikan kolaborasi data yang efisien. Di India, registrasi IMEI wajib untuk semua perangkat impor telah berhasil membendung banjir ponsel BM, menjamin hanya perangkat resmi yang beredar.
China menunjukkan keberhasilan melalui sistem blacklist nasional yang terintegrasi, mengurangi pencurian ponsel hingga 30 persen berkat kolaborasi mulus antara pemerintah dan sektor swasta.
Sementara itu, Chile dan Turki menerapkan pendekatan whitelist yang lebih radikal, di mana perangkat yang tidak terdaftar otomatis tidak dapat digunakan. Meski kontroversial karena memaksa registrasi, pendekatan ini terbukti efektif menekan impor ilegal. Kolombia, sejak 2011, telah memblokir jutaan ponsel curian melalui sistem registry, meskipun menghadapi kritik terkait privasi.
Nepal dan Azerbaijan juga mengadopsi whitelisting, membuktikan pendekatan ini adaptif untuk negara berkembang. Turki, misalnya, memberikan masa tenggang 90-180 hari bagi wisatawan asing, sebelum memblokir perangkat, mendorong registrasi berbayar, model yang dapat dipertimbangkan untuk tujuan wisata, seperti Bali atau Jakarta.
Keberhasilan pengelolaan IMEI bergantung pada tiga pilar, yakni integrasi global melalui GSMA, literasi publik yang memadai, dan penegakan hukum yang tegas. Regulasi saja tidak cukup, tanpa dukungan ekosistem yang holistik.
Strategi Penguatan
IMEI bukan sekadar alat pemblokiran, tetapi juga instrumen untuk memperkuat pengawasan pasar dan mencegah peredaran barang palsu. Khalid Khan, dari International Telecommunication Union (ITU), menyoroti pentingnya kerangka IMEI dalam meningkatkan keamanan ekosistem mobile. Sementara itu, Trancecore Solutions menegaskan bahwa pengendalian IMEI adalah kunci untuk melacak dan memulihkan perangkat curian, membentuk sistem terpadu melawan perdagangan ilegal.
Integrasi IMEI dengan teknologi biometrik sangat penting untuk meningkatkan keamanan dan mencegah kebocoran data. Pendekatan ini mirip dengan autentikasi media sosial, namun dengan lapisan perlindungan yang lebih kuat.
Di balik kemajuan teknologi, IMEI menyentuh esensi kemanusiaan dan keamanan sebagai hak dasar. Kehilangan ponsel bukan hanya soal kerugian materi, tetapi juga invasi privasi yang mendalam. Untuk itu, Komdigi perlu bergabung dengan GSMA untuk skenario pemblokiran global, mengembangkan aplikasi registrasi yang sederhana dan mudah diakses, dengan tetap melibatkan akademisi untuk riset inovatif. Masyarakat juga harus berperan aktif mendaftarkan ponselnya melalui IMEI, melaporkan kehilangan, dan mendukung regulasi yang konstruktif.
Transformasi menuju masyarakat digital yang aman dan adil bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal dari komitmen bersama. Jika diterapkan setengah hati, kita hanya akan mengulangi siklus kejahatan. Namun, dengan pendekatan yang tegas dan terkoordinasi, IMEI dapat menjadi benteng digital yang tak tergoyahkan, melindungi jutaan pengguna di on ol beyond.(ant/ipg)