
Jelang peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada, Sabtu (3/5/2025) besok, Nany Afrida Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyoroti kondisi krisis bisnis media yang saat ini melanda banyak ruang redaksi di Indonesia.
Menurut Nany, situasi ini bukan sekadar persoalan ekonomi perusahaan media. Tetapi, juga ancaman serius terhadap kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi yang independen.
“Kalau buat AJI sendiri ini krisis bisnis media itu ancaman terhadap kebebasan pers ya. Ketika media tergantung pada pendanaan dari modal besar, politikus, redaksinya kehilangan independensi,” tegas Nany kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (2/5/2025).
Ia menyebut, banyak media yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap jurnalis dan karyawannya karena krisis bisnis ini. Tak hanya itu, yang lebih parah banyak ruang redaksi jadi corong kepentingan pemiliknya.
“Kalau pemiliknya ke bisnis ya pastinya ke bisnis larinya. Begitu juga kalau politik. Jadi dia akhirnya punya stand-nya sama politik tertentu,” tambahnya.
Nany mengatakan, bagi AJI fenomena ini sama sekali tidak sesuai dengan semangat pers untuk membela kepentingan publik. Sebaliknya, fenomena ini merupakan bentuk kolonialisasi baru terhadap insan pers, dimana kepentingan bisnis dan politik justru mengendalikan informasi publik.
Selain itu, Ketua AJI itu menilai kalau saat ini independensi jurnalis sangat terancam ketika media hidup dari pemasukan iklan dan sponsor.
“Ketika media hidup dari iklan, sponsor, maka jurnalisnya berada di bawah bayang-bayang orang yang memberi uang. Mereka ngalami tekanan supaya nggak menjinggung pengiklan yang membuat uang redaksinya jadi ada yang mendalikan,” ujarnya.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, menurutnya praktik jurnalisme pesanan kini juga kian marak. Apa yang diinginkan oleh pemodal dimasukkan dalam editorial, dan praktik itu tumbuh subur.
“Jadi ini nggak sesuai lagi dengan profesi jurnalis yang harusnya fokus kepada kepentingan masyarakat dan memberikan informasi berdasarkan fakta,” paparnya.
Nany juga mengingatkan bahwa gelombang PHK massal terhadap jurnalis tidak bisa hanya dilihat sebagai isu ketenagakerjaan biasa, karena berdampak langsung pada kualitas pemberitaan.
“Kalau wartawan-wartawan profesional ini sudah di PHK, otomatis redaksi itu kehilangan daya kritis pengalaman, juga integritas ya. Jadi tiga hal yang penting ini hilang. Kemudian akhirnya media diisi oleh konten yang dangkal, berita yang lepas, infotainment. Jadi ini jadi mengganggu kepentingan publik ya, yang sebetulnya mereka itu membutuhkan informasi yang mendalam, informasi yang berguna,” ujarnya.
Ia pun mencontohkan, isu seperti korupsi yang membutuhkan liputan investigasi mendalam berisiko tak lagi mendapat perhatian. “Kalau misalnya kondisinya seperti ini, bagaimana bisa mendapatkan berita-berita yang seperti ini? Kemana uang rakyat dibawa dan lain-lain,” ujarnya.
Tantangan lain yang tak kalah besar, kata Nany, adalah tekanan algoritma media sosial. Menurutnya tekanan ini sangat berbahaya karena mendorong media untuk mengejar klik semata untuk mendapat uang, tanpa mempertimbangkan kebenaran dalam berita yang seolah tak penting.
Hal ini membuat banyak media berlomba-lomba membuat judul bombastis dan konten yang kurang bermutu demi traffic dan engagement. “Aku pikir idealisme jurnalistik itu dikorbankan gara-gara traffic dan engagement ini,” katanya.
Menghadapi tantangan baru berupa perkembangan kecerdasan buatan (AI), Nany menegaskan bahwa produk yang dihasilkan AI itu bukan produk jurnalistik.
Dia menegaskan produk jurnalistik mengikuti beberapa tahapan. Di antaranya ada pengumpulan berita, wawancara, konfirmasi, verifikasi, dan lain-lain. Sementara AI, dinilai tidak mungkin melakukan hal tersebut.
Ketua AJI itu lantas menyebut kalau AI hanya cocok digunakan sebagai tools, atau pendukung kerja jurnalistik, seperti pengumpulan data dan analisis. “Kerja jurnalistik itu memang spesifik, dan hingga saat ini AI belum bisa menggantikannya,” tegas Nani.
Meski begitu, ia mengakui AI sudah digunakan di banyak media untuk memproduksi berita-berita template seperti laporan olahraga atau cuaca. Ia mengingatkan wartawan agar terus meningkatkan kapasitas agar tetap relevan.
“Kalau wartawan yang nggak meningkatkan skill-nya, nggak cuma berita-berita site, misalnya berita-berita harian, dia akan bertahan, karena AI nggak bisa kesana,” katanya.
Terakhir, Nany juga menyoroti meningkatnya kekerasan terhadap insan pers. Baik di tingkat internasional maupun nasional.
“Kalau di Indonesia sendiri sampai saat ini AJI sudah menerima laporan lebih dari 30 kasus kekerasan. Itu tahun 2025, baru tahun ini ya. Tahun sebelumnya itu sekitar 70-an setahunan. Nah ini baru bulan April, sudah 30. Jadi saya berpikir itu jumlahnya akan meningkat ya,” ungkapnya.
Ia berharap pemerintah serius menuntaskan kasus-kasus kekerasan agar tidak terjadi impunitas. “Jadi orang-orang akan lebih berani lagi melakukan hal yang sama pada wartawan,” ujarnya.
Sebagai langkah konkret, AJI tetap akan membela profesi jurnalis, termasuk memastikan jurnalis yang di-PHK mendapat haknya, melawan kriminalisasi jurnalis, dan memberikan bantuan hukum bagi jurnalis korban kekerasan.
“Kondisi seperti sekarang ini berat tapi yakin pasti kuat ya dengan solidaritas dari AJI,” pungkasnya. (bil/faz)