Kamis, 7 Agustus 2025

Komnas HAM Berkomitmen Lindungi Kerja Jurnalis Jalankan Tugas

Laporan oleh Akira Tandika Paramitaningtyas
Bagikan
Imelda Saragih (kanan) Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM bersama Aman Arie Mega (kiri) Project Officer Jurnalisme dalam acara Konsultasi Forum Nasional di Jakarta, Selasa (5/8/2025). Foto: Antara

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berkomitmen melindungi kerja jurnalis dalam menjalankan tugasnya sebagai salah satu bagian mandat kerja Komnas HAM.

Dalam acara Konsultasi Forum Nasional di Jakarta, Selasa (5/8/2025), Imelda Saragih Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM menyebutkan kebebasan pers dan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan nasional.

“Tren ancaman dan serangan terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran HAM yang menimbulkan chilling effect (ketakutan karena ambiguitas hukum), serta membatasi kebebasan berekspresi dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi,” ujar Imelda dilansir dari Antara, Kamis (7/8/2025).

Hal tersebut seiring dengan hasil laporan program Jurnalisme Aman yang mencatat dari total 55 jurnalis yang diwawancarai secara mendalam, menyatakan pernah mengalami kekerasan atau ancaman dalam menjalankan tugas jurnalistik, baik secara fisik, verbal, maupun digital.

Laporan merekam pengalaman jurnalis di tiga wilayah dengan tingkat kekerasan tinggi terhadap pers, yakni Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya.

Atas temuan itu, Yayasan Tifa, sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman, menyarankan pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ), sebagai salah satu rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah untuk melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Aman Arie Mega Project Officer Jurnalisme berpendapat RAN-PJ diperlukan sebagai inisiatif bersifat lintas sektor dan menuntut adanya komitmen politik yang kuat serta dukungan anggaran dari negara.

Selain itu, dirinya merekomendasikan pula adanya pembentukan unit khusus di tubuh kepolisian dan kejaksaan yang secara spesifik menangani berbagai kasus kekerasan, kriminalisasi, atau intimidasi terhadap jurnalis.

Pasalnya, dikatakan bahwa upaya penanganan kekerasan terhadap jurnalis sejauh ini masih terfragmentasi. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri belum sepenuhnya diterapkan di daerah.

Di sisi lain, ia menambahkan pelatihan keamanan jurnalistik belum menjadi bagian dari program wajib di media atau organisasi profesi.

“SOP peliputan di lapangan tidak tersedia atau tidak diketahui oleh aparat dan sistem aduan yang aman belum dibentuk secara merata di wilayah,” tuturnya.

Dalam melindungi jurnalis, Arie menuturkan diperlukan pula penguatan mekanisme pemulihan korban, termasuk dukungan dalam aspek hukum, psikososial, maupun perlindungan digital, supaya jurnalis yang menjadi korban kekerasan dapat kembali menjalankan perannya dengan aman.

Hal tersebut, kata Arie, seiring dengan hasil laporan yang menunjukkan sebanyak 65 persen dari responden mengaku sering atau kadang-kadang menghadapi kekerasan atau intimidasi, yang berdampak pada cara mereka bekerja dan merasakan keamanan.

Selanjutnya, dia pun menyoroti pentingnya penguatan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) di tingkat daerah.

Berdasarkan laporan Yayasan Tifa, jenis kekerasan yang dialami jurnalis di tiga wilayah yang menjadi sampel juga berbeda.

Di Aceh, tercatat jenis kekerasan utama, antara lain intimidasi dan ancaman verbal, larangan liputan, perampasan alat, dan kekerasan pasca-publikasi, sedangkan di Sulawesi Tengah jenis kekerasan utama, antara lain kekerasan fisik saat demo dan liputan Program Strategis Nasional (PSN), pemaksaan penghapusan dokumentasi, hingga pelecehan seksual.

Sedangkan jenis kekerasan utama yang sering dialami jurnalis di Papua Barat Daya lebih kepada kekerasan bersifat multidimensi berbasis ras, gender, dan politik.

Dalam kesempatan yang sama, Nani Afrida Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengungkapkan kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih menjadi persoalan serius.

Meskipun situasi tampak baik-baik saja, dikatakan bahwa kenyataannya banyak jurnalis menghadapi intimidasi dan kekerasan di lapangan.

“Jurnalis makin takut melaporkan kebenaran. Kalau ini terus terjadi, masyarakat akan tersesat oleh propaganda dan disinformasi,” kata Nani.

Sementara itu, Abdul Manan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers menegaskan pihaknya mendorong terbentuknya satuan tugas lintas lembaga yang mampu merespons tidak hanya insiden kekerasan, tetapi juga memperbaiki ekosistem yang memicu ancaman terhadap jurnalis.

Ia menuturkan pada pertemuan di Jakarta pada 24 Juni 2025, baru tiga lembaga yang menandatangani komitmen bersama, yakni Dewan Pers, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komnas Perempuan.(ant/ata/kir/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Kamis, 7 Agustus 2025
31o
Kurs